Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_3175.jpeg
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu. (dok. YouTube INDEF)

Intinya sih...

  • Hilirisasi industri bisa tekan biaya produksi EBT

  • Tantangan dalam mendorong penggunaan energi hijau

  • Danantara dukung penuh program hilirisasi di Indonesia

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu mengakui produksi energi hijau atau energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia masih mahal. Hal itu disebabkan rantai pasok dalam sektor energi hijau yang belum efisien, sehingga menciptakan biaya produksi yang mahal.

"Pada saat kita mau shifting masuk kepada green energy, whatever the story, produksi green energy sekarang kita ini levelnya masih mahal. Kenapa? Karena supply chain-nya masih mahal," kata Todotua dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang digelar INDEF dan CNBC Indonesia, Selasa (28/10/2025).

1. Hilirisasi industri bisa tekan biaya produksi EBT

PLTS atap dengan kapasitas 2,5 megawatt peak (MWp) resmi beroperasi di area Workshop dan Gedung New HSSE KPI Kilang Balikpapan (19/5) (dok. Pertamina)

Todotua mengatakan, untuk menekan biaya produksi itu, pemerintah menggencarkan hilirisasi industri. Dengan hilirisasi, maka diharapkan pelaku usaha di dalam negeri mampu memasok komponen yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik EBT, sehingga biayanya bisa lebih rendah.

"Bagaimana kita bisa menghadirkan industri atau downstreaming daripada solar panel di negara kita yang kompetitif. Sehingga ini nanti secara supply chain memberikan kontribusi terhadap harga energi green kita yang murah," ujar Todotua.

2. Jadi tantangan dalam mendorong penggunaan energi hijau

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) mencatatkan kinerja keuangan yang solid sepanjang kuartal I 2025. (dok. Pertamina)

Di program hilirisasi industri, pemerintah juga meminta para investor menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Namun, biaya kembali menjadi sorotan.

Meski begitu, Todotua mengatakan, penerapan energi hijau bukanlah hambatan bagi Indonesia untuk menekan emisi karbon, tapi menjadi tantangan.

"Apakah teknologi yang masuk ini sudah ramah lingkungan?Jawaban saya sederhana, it's all about cost. It's all about strategic price yang akan dihasilkan," ujar dia.

3. Danantara dukung penuh program hilirisasi di Indonesia

Wisma Danantara Indonesia (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Untuk mewujudkan Indonesia yang lebih ramah lingkungan, dia juga menyinggung soal ketersediaan dukungan modal. Menurutnya, kehadiran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) akan memenuhi kebutuhan itu.

"Sebenarnya Danantara ini kan memang paling utamanya kita mau masuk ini untuk strategic hilirisasi. Bagaimana kita bisa mempercepat," ucap Todotua.

Editorial Team