Ilustrasi uang (IDN Times/Arief Rahmat)
Ya, tadi saya menegaskan lagi bahwa terbitnya Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 itu bagian daripada usulan aspirasi kami yang meminta UMP tidak menggunakan penghitungan PP No 36 Tahun 2021, clear ya. Tetapi kemudian di dalam si Permen itu ada batasan kalau gak salah ya, maksimal 10 persen, ya kami kira kami juga memahami, ya kami kan minta 13 persen, gitu ya.
Artinya pemerintah juga gak mau kehilangan muka juga, gak mau terlalu kalau kelihatan para buruh ya, ketika sudah diakomodir usulan tidak menggunakan PP 36 kami sudah sangat senang, dan artinya ada yang lebih menyenangkan lagi Permen itu memfungsikan kembali, menghidupkan kembali dewan pengupahan yang ada di kota dan kabupaten.
Dewan Pengupahan yang ada di kota kabupaten provinsi selama ini sepanjang menggunakan PP 36 tidak pernah berfungsi alias mati suri. Jadi kan semua selama ini kan langsung dari pusat yang penetapan UMP-nya. Tapi karena keberadaan Permen ini, mengakibatkan nanti Dewan Pengupahan yang terdiri dari tiga unsur yaitu unsur serikat pekerja serikat buruh, unsur pengusaha, unsur pemerintah, menjadi hidup gitu.
Mereka nanti berdiskusi, berunding untuk bersama-sama menetapkan berapa sih inflasi yang terjadi dalam masing-masing provinsi, masing-masing daerah. Jadi, masing-masing daerah nanti berbeda, memang secara nasional 10 persen. Tapi nanti ketika jatuh di masing-masing daerah tentu kita memahami masing-masing daerah kan inflasinya berbeda, pertumbuhan ekonomi berbeda, nah yang tahu siapa? Yang tahu dewan pengupahan di masing-masing kota kabupaten, provinsi tersebut.
Maka dari itu ini lebih bagus kalau menurut saya, tadi, yang namanya perundingan, musyawarah mufakat itu terjadi, tidak ada pihak yang pokoknya pokoknya, semau-maunya, keras-kerasan situ, gak ada, lewat dewan pengupahan lah nanti diputuskan.
Nanti kan ada usulan nih dari serikat pekerja sekian, pengusaha sekian, sudah dirangkum nanti ngambil jalan tengah kalau menurut saya. Nah, itulah yang namanya kalau menurut saya sih jalan win-win solution yang lebih bagus. Jadi Permen ini ada bagus banget, karena dia menghidupkan lagi fungsi Dewan Pengupahan yang ada di kota kabupaten dan juga provinsi.
Terus, bagaimana ASPEK Indonesia mengawal supaya para pengusaha ini tidak menggunakan PP 36 tapi mematuhi Permenaker Nomor 18?
Ya, yang pertama tadi sudah ada jaring pengamannya ukurannya dasarnya adalah Permen, keputusan Permen itu sudah menjadi aturan yang baku untuk sama-sama menentukan UMP di masing-masing provinsi atau daerah kota kabupaten. Jadi, gak boleh keluar dari situ. Nah, ini terjadi nih, kemarin saya dapat laporan dari DKI. Kan ada perwakilan Dewan Pengupahan dari ASPEK Indonesia yang di sana, dari serikat pekerja serikat buruh, baru aja kemarin, semalam itu dia baru laporan ke saya baru rapat ngotot masih si Apindo, ya pengusaha ngotot masih tetap menggunakan PP 36.
Lucunya, kan ada perwakilan pengusaha itu ada Apindo dan Kadin, Kadin gak tuh, Kadin lebih fleksibel, Kadin patuh terhadap Permen ya, tidak menggunakan PP, Apindo masih ngotot menggunakan PP. Ini ada berita acaranya saya baca gitu ya, konyol banget. Tetapi lagi-lagi kan kita bicara ngambil voting nantinya kan, misalnya, musyawarah tidak bisa dilakukan ya, itu kan ada voting.
Saya yakin pemerintah taat dong, harus taat karena kan pemerintah sendiri yang mengeluarkan Permen. Kalau serikat pekerja menggunakan Permen, misalnya pengusaha gak ya artinya pengusahaan harus legowo dong, harus taat atas putusan yang dihasilkan di Dewan Pengupahan yang nanti kemudian diberikan kepada gubernur masing-masing, harus taat ya, gak bisa dia, misalnya, memaksakan kehendaknya ngotot, gak bisa.
Untuk perusahaan yang benar-benar memang kondisinya lagi sulit, mereka sudah buka-bukaan soal laporan keuangannya merugi dan sebagainya itu apakah buru akan menerima dengan kenaikan upah yang mungkin tidak sesuai aturan?
Saya katakan sekali lagi di sini, posisi pekerja budak itu bukan dalam posisi kelompok yang ngotot gitu ya, yang memaksakan kehendaknya seenak-enaknya, sesuka-sukanya, gak. Saya clear-kan sekali lagi, posisi pekerja buruh Indonesia itu bukan posisi kelompok yang selalu ingin memaksakan kehendaknya, selalu tidak mau menerima masukan, selalu tidak mau melihat fakta atau kondisi di lapangan, gak, kami clear, kami ingin meminta ada win-win solution, sama-sama enak, ada saling menguntungkan kedua belah pihak.
Kami sekali lagi ini kan sudah sering juga kami lakukan dan terjadi, ya sudah kita karena laksanakan lah, pernah kita lalui, pernah kami lalui. Ketika memang usaha perusahaan yang kami tempati ini sedang tidak bagus, sedang menurun ya laporan keuangannya, kan anak-anak itu yang rasain day to day-nya, dia gak ada omzet, dia gak ada pergerakan, tidak ada produksi, kan mereka yang ngerasain.
Nah, ketika misalnya mereka memaksakan kehendaknya 'pokoknya saya gak mau tahu, naik sekian' ya mereka gak tahu diri juga. Tetapi saya yakin gak begitu kawan-kawan pekerja buruh kita. Maka dari itu, nanti kan pastinya pengusaha akan menyampaikan secara terbuka tadi, sudah menyampaikan dan yakin pekerja buruh harus menerima secara solusi kedua belah pihak.
Tapi jangan sampai gak naik, kan gitu ya karena memang meskipun mungkin target naiknya itu gak sesuai dengan apa yang menjadi target secara nasional. Tapi beda ya kita akan bedakan kondisi kayak gini nih. Jadi memang kita melihat kalau memang perusahaannya, pengusahanya memang tidak mampu sama sekali dan itu secara jujur, secara transparansi sudah disampaikan dan pekerja harus menerima dengan syarat tadi jujur, transparan, dan harus berunding.