Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi emas batangan (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi emas batangan (pexels.com/Pixabay)

Intinya sih...

  • Emas melindungi nilai dari inflasi akibat perang, karena kelangkaannya membuatnya instrumen penyimpan nilai yang kuat.

  • Emas menjadi aset aman di tengah ketidakpastian global, dengan korelasi rendah terhadap kelas aset lain.

  • Gangguan pasokan akibat konflik mendorong kenaikan harga emas, karena permintaan tinggi dan kelangkaan pasokan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setiap kali konflik besar meletus, pasar keuangan global biasanya langsung terguncang. Saham, obligasi, dan instrumen lain yang bergantung pada stabilitas sering kali kehilangan daya tariknya. Dalam situasi penuh ketidakpastian seperti itu, emas hampir selalu muncul sebagai aset yang menonjol.

Hal ini tidak terjadi begitu saja. Ada berbagai faktor yang membuat emas tetap menjadi pilihan utama ketika perang menciptakan kekacauan ekonomi. Berikut lima fakta menarik tentang bagaimana emas berperan penting di tengah konflik bersenjata.

1. Emas melindungi nilai dari inflasi akibat perang

ilustrasi emas (pexels.com/Michael Steinberg)

Dilansir dari Hero Bullion, perang biasanya membuat pemerintah menggelontorkan dana besar untuk operasi militer. Biaya ini kerap ditutup dengan mencetak uang baru, yang justru menekan nilai mata uang dan memicu inflasi. Saat harga barang melonjak, emas muncul sebagai pelindung aset karena nilainya justru cenderung meningkat.

Tidak seperti mata uang fiat yang bisa dicetak tanpa batas, emas memiliki kelangkaan alami. Karakter ini menjadikannya instrumen penyimpan nilai yang kuat saat daya beli masyarakat terguncang. Maka tidak heran, investor kerap mengalihkan aset mereka ke logam mulia ini untuk bertahan dari kebijakan ekonomi masa perang.

Sejarah membuktikan betapa eratnya hubungan emas dengan inflasi. Pada akhir 1970-an, konflik Iran-Irak dan invasi Soviet ke Afghanistan membuat harga emas naik tajam. Tahun 1978 harganya melesat 37 persen, lalu setahun setelahnya bahkan melonjak 126 persen.

2. Emas menjadi aset aman di tengah ketidakpastian global

ilustrasi emas (pexels.com/Michael Steinberg)

Emas dikenal luas sebagai safe haven alias aset aman ketika gejolak geopolitik menghantam. Berbeda dengan saham atau obligasi yang kinerjanya terikat pada kondisi ekonomi, emas punya korelasi rendah dengan kelas aset lain. Karena itulah logam mulia ini bisa melindungi portofolio saat pasar berantakan.

Dilansir dari ISA Bullion, kekuatan emas terlihat jelas saat konflik besar terjadi. Misalnya, setelah tragedi 9/11, harga emas naik dari 215,50 menjadi 287 dolar AS per ons. Begitu juga ketika konflik Israel-Hamas pecah pada 2023, nilainya sempat menembus 2.000 dolar AS. Fakta ini menguatkan posisi emas sebagai perlindungan utama di masa krisis.

Kondisi serupa juga tampak ketika perang Rusia-Ukraina berlangsung. Ketika pasar saham goyah karena ketidakpastian, emas justru bergerak berlawanan. Jadi, kalau kamu bertanya aset apa yang paling bisa diandalkan saat dunia terasa tak pasti, jawabannya hampir selalu emas.

3. Gangguan pasokan akibat konflik mendorong kenaikan harga emas

ilustrasi emas (pexels.com/Michael Steinberg)

Perang tidak hanya menciptakan kekacauan di pasar finansial, tetapi juga mengganggu rantai pasokan emas. Jika konflik pecah di negara penghasil emas utama atau jalur perdagangan vital, distribusi logam mulia ini bisa terhambat. Kondisi ini membuat ketersediaannya di pasar global menurun drastis.

Saat pasokan terhambat, permintaan justru biasanya meningkat karena banyak investor memburu emas untuk keamanan. Ketidakseimbangan inilah yang membuat harga emas terus terdorong naik. Kombinasi antara kelangkaan dan permintaan tinggi menjadikannya semakin bernilai.

Kasus nyata terjadi ketika Rusia, salah satu produsen emas terbesar dunia, terlibat perang di Ukraina. Negara-negara Barat sepakat berhenti membeli emas dari Rusia. Alhasil, sebagian pasokan emas global terhenti dan harga logam mulia ini ikut terdongkrak.

4. Ketakutan investor memicu peningkatan permintaan emas

ilustrasi indeks pasar saham (pexels.com/Kindel Media)

Ketakutan sering kali menjadi motor utama investor di masa perang. Kekhawatiran terhadap resesi, jatuhnya pasar saham, atau eskalasi konflik membuat mereka segera mencari pelarian. Fenomena yang disebut flight to safety ini hampir selalu menjadikan emas sebagai tujuan pertama.

Pembelian emas di masa krisis sering kali tidak hanya untuk menjaga nilai aset, tetapi juga bersifat spekulatif. Investor berharap nilainya terus naik seiring panjangnya konflik. Contohnya, ketika Amerika Serikat melancarkan serangan di Teheran, harga emas melonjak ke level tertinggi mingguan karena lonjakan permintaan.

Ekspektasi konflik yang lebih luas pun bisa menjaga harga emas tetap tinggi. Perang Rusia-Ukraina misalnya, telah membuat logam mulia ini bertahan di level kuat. Bahkan, hanya dengan isu kemungkinan invasi China ke Taiwan, pasar emas bisa langsung bergejolak karena lonjakan pembelian baru.

5. Status historis emas sebagai penyimpan nilai memperkuat permintaannya

ilustrasi pengecekan gejala COVID -19 (pexels.com/Kampus Production)

Selama ribuan tahun, emas dikenal sebagai penyimpan nilai yang bisa diandalkan. Reputasi panjang ini membuatnya selalu jadi incaran utama ketika kepercayaan terhadap sistem keuangan lain mulai goyah. Masa perang hanyalah salah satu dari banyak momen di mana emas membuktikan perannya.

Dilansir dari DIY Investor, peran emas sebagai penjaga kekayaan tidak terbatas pada perang saja. Ketika pandemik COVID-19 melanda, nilainya juga melonjak tajam saat pasar saham dunia merosot. Momentum itu menambah bukti bahwa emas tetap menjadi aset abadi di masa krisis global.

Pada akhirnya, emas selalu menempati posisi istimewa di tengah gejolak dunia. Baik karena inflasi, ketidakpastian geopolitik, maupun ketakutan pasar, logam mulia ini terbukti menjadi pegangan utama. Perannya yang konsisten membuat emas tetap relevan hingga kini sebagai simbol keamanan finansial global.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team