Selama puluhan tahun, strategi investasi klasik 60 persen saham dan 40 persen obligasi menjadi andalan investor dalam menjaga keseimbangan risiko dan imbal hasil. Logikanya sederhana: saat pasar saham turun, obligasi akan menstabilkan portofolio.
Namun, menurut ekonom Peter Schiff, resep lama itu kini tak lagi manjur. Inflasi yang terus meningkat telah mengguncang fondasi utama dari strategi tersebut.
“Obligasi adalah korban terbesar inflasi. Jika kamu memegang obligasi, inflasi akan menghancurkan nilai investasinya — tidak ada perlindungan,” ujar Schiff dalam video terbarunya di YouTube.
Masalahnya, pembayaran tetap dari obligasi tidak menyesuaikan dengan kenaikan harga. Nilainya justru tergerus ketika daya beli dolar menurun. Saat suku bunga naik untuk menekan inflasi, harga obligasi lama pun jatuh karena investor lebih memilih obligasi baru dengan imbal hasil lebih tinggi.
Dampaknya, banyak investor mendapati portofolio mereka menurun nilainya meski terlihat aman di atas kertas.
