ilustrasi masterard (pexels.com/Pixabay)
Sejak Mei 2023, BI mengamanatkan kartu kredit pemerintah menggunakan sistem GPN, begitu juga dengan kartu kredit pemerintah daerah (Pemda). USTR melihat kebijakan ini mengancam akses sistem pembayaran elektronik AS.
“Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru tersebut akan membatasi akses penggunaan opsi pembayaran elektronik AS," tulis USTR.
USTR juga mengkritik Peraturan BI No. 19/8/PBI/2017 Tahun 2017, yang mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin dari BI.
Bagi perusahaan yang ingin memperoleh izin switching dan bermitra dengan GPN, BI membatasi kepemilikan asing hanya 20 persen pada perusahaan itu. Peraturan itu melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik.
Dalam Peraturan BI no.191/10/PADG/2017, BI juga mengamanatkan perusahaan asing yang memiliki izin untuk memproses transaksi ritel domestik untuk bermitra dengan switching GPN. USTR menyoroti alasan BI yakni untuk mendukung pengembangan industri dalam negeri dan transfer teknologi.
Meski begitu, pada 21 April 2025 lalu, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti mengatakan, selama ini kartu kredit asing seperti Visa dan MasterCard asal AS masih mendominasi sistem pembayaran di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan tidak ada hambatan bagi perusahaan asing untuk beroperasi di dalam negeri.
Oleh karena itu, menurutnya, tudingan sistem pembayaran nasional membatasi pelaku usaha asing tidak sepenuhnya tepat.
"Sampai sekarang kartu kredit yang selalu diributin, Visa, Master kan masih juga yang dominan. Jadi itu nggak ada masalah sebenernya," ucap Destry di Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta.