Ilustrasi pedagang kaki lima (PKL) . (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Menurut seorang pekerja swasta di Jakarta Selatan, Aditya Pratama (28), jika penjual membebankan tarif MDR ke konsumen melalui kenaikan harga produk, maka dirinya sebagai konsumen tak akan menyadari apabila tak diberi tahu. Apalagi, tarif MDR sangat kecil, hanya 0,3 persen.
"Karena memang kenaikannya juga terbilang kecil mungkin juga secara ggak sadar kita gak menyadari," kata Aditya kepada IDN Times.
Namun, jika mengetahuinya, dirinya pun enggan melaporkannya ke Bank Indonesia. Kecuali, ada penjual yang menaikkan harga produk secara signifikan dengan memanfaatkan pengenaan MDR dari QRIS.
"Yang jadi masalah adalah ketika ada pedagang menaikkan harga jualnya secara tidak wajar. Sebagai konsumen kita juga pasti bakal teriak," kata Aditya.
Senada dengan Aditya, Ave Airiza (23), seorang pekerja di perusahaan swasta mengatakan dirinya sebagai konsumen tak akan menyadari jika MDR dibebankan kepada konsumen, jika tak ada pemberitahuan dari penjual.
"Kalau sadar atau enggak, pasti gak sadar kalau memang belanja di tempat yang jarang saya datangi," tutur Ave kepada IDN Times.
Namun, Ave mengatakan, dirinya pernah diberitahukan seorang pedagang di kawasan Pasar Minggu, bahwa transaksi menggunakan QRIS akan dikenakan biaya tambahan.
"Tapi tadi saya beli siomay di Pasar Minggu, pas mau coba bayar pakai QRIS, penjualnya memberitahu ada charge. Kalau gak mau, bayar cash saja," kata Ave.
Meski begitu, Ave memilih tak melaporkan tindakan tersebut. Dia lebih memilih mengganti metode pembayaran ketimbang harus melalui berbagai proses untuk melapor ke BI.
"Itu menurut saya informatif, jadi saya bisa milih. Kalau buat laporin ke BI atau enggak, saya kayaknya malas ya. Mending pilih metode pembayaran lain saja," ucap Ave.