[NOVEL] Redum-BAB 5

Aku selalu tahu kalau Anna menungguku. Dia berbaring miring di ranjangnya ketika aku membuka pintu. "Sudah tidur?"
Anna membuka mata. "Belum." Aku tidur di sampingnya lalu menatap langit-langit. "Kamu basah lagi," katanya.
Aku mengangguk. "Berenang."
Anna membalik badannya menjadi telentang. "Kinan pindah sekolah." Ketika aku menatap wajahnya, dia sudah meneteskan air mata. "Dia baru memberi tahuku sore ini."
Aku tidak pandai menghibur seseorang, jadi aku hanya mengatakan, "Masih ada Hara, 'kan?"
Anna menggeleng. "Bukan itu intinya, Ra." Dia mulai terisak. Aku membiarkannya memelukku dari samping. Anna terkadang memang bisa secengeng ini. "Aku jadi membayangkan bagaimana kalau kamu pindah ke luar kota nanti."
Tanpa bisa menahan diri, aku tergelak. "Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Hanya kepikiran saja. Bagaimana kalau aku merindukanmu?"
"Sekarang sudah zaman canggih."
"Kamu tidak akan masuk ke kamarku dengan keadaan basah lagi lalu bertanya apa aku sudah tidur."
Aku tidak memikirkan itu.
"Aku akan meneleponmu kalau sudah selesai berenang di luar kota," kataku. "Lagian, itu masih lama."
Anna mengeratkan pelukannya. Aku tidak membalas pelukan itu karena aku takut ikut menangis bersamanya.
***
Hari ini adalah hari Minggu. Ayah dan Ibu mengajak kami ke pertunjukan orkestra yang salah satu pemainnya merupakan teman ayahku sehingga kami mendapat tiket gratis.
Anna sibuk membantah Ibu tentang baju apa yang akan dia kenakan. Terkadang, mereka berdua bertengkar begitu sengit dan membuat aku lupa kalau masalahnya sebenarnya sepele.
"Bajunya sempit, Bu!"
"Tidak sempit kalau kamu tidak menggembungkan perutmu."
Aku sudah selesai memakai baju pilihan Ibu, gaun hitam berenda di bawah lutut dan berlengan panjang. Di cermin, aku tampak seperti peperangan. Wajahku pucat dan tampak kelelahan, sedangkan bajuku menunjukkan kegarangan dan keanggunan yang dipadukan. Rambutku yang lurus dan panjang tampak seperti aliran air. Aku putuskan untuk mengikat rambutku. Kalau aku punya maskara seperti milik Rena, aku akan memakainya. Sayangnya, aku tidak punya.
Anna dan Ibu masih saling berdebat di kamar. Aku menghampiri mereka lalu bersandar di pintu. "Kupikir, penampilanmu akan lebih baik kalau memakai sweter pemberianku, An," kataku.
Anna langsung menuju lemari dan memakai sweter merah itu. Gaunnya berwarna krem dan kupikir penampilannya terkesan seperti peperangan yang damai.
Ibu berkacak pinggang. "Kalian berdua memang sama saja."
"Ibu tidak mengerti fashion masa kini," kata Anna. Dia membiarkan rambut panjangnya terurai. Dengan penampilannya sekarang, Anna terlihat seperti setangkai dandelion.
Ibu menyerah. Dia mengomeliku sesaat karena menyarankan yang aneh-aneh pada Anna. "Dia menjadi sering mengikutimu," kata Ibu.
Aku mengangkat bahu sambil tersenyum. "Aku memang panutan."
Di mobil-yang baru dibeli Ayah beberapa bulan lalu secara kredit ketika dia mendapat kenaikan gaji-kami bergantian menyetel lagu kesukaan kami. Dimulai dari Ayah yang memainkan lagu dangdut jadul-yang membuat aku dan Anna bergoyang hebat di kursi belakang. Ibu hanya menggeleng tidak percaya. Ketika giliran Ibu memutar musik, aku hampir tidur karena yang diputar adalah Piano Beethoven Sonata No. 8 In C Minor, Op. 13, sedangkan Anna memandang jendela terus-menerus. Kami tidak diperbolehkan mengomentari selera musik masing-masing. Itu aturan lama.
Saat giliran Anna, dia bingung memilih antara lagu "Mardy Bum" atau "From The Ritz To The Rubble" dari Arctic Monkeys. Setelah memekik beberapa kali karena tidak bisa memilih dan menendang kursi karena frustrasi, dia akhirnya memilih Mardy Bum. Aku mengapresiasi pilihannya dengan ikut bernyanyi. Di dalam mobil, yang terdengar hanya suaraku dan Anna. Kami saling sahut-menyahut ketika sampai di chorus.
Lalu, kami menyanyi bersama-sama ketika sampai di lirik: Well, now then mardy bum. Oh, I'm in trouble again, aren't I?
Aku belum sempat memilih lagu karena kami sudah sampai di tempat orkestra. Tempatnya di pusat kota dan gedungnya hampir tidak pernah kulihat karena aku jarang ke pusat kota. Aku pergi ke pusat kota hanya saat diajak orang tuaku. Aku dan Rena benci pusat kota karena di sini banyak gadis yang selalu terlihat seperti jalang-itu sebutan dari Rena.
Ketika kami masuk ke gedung, suasananya seperti yang terlihat di sebuah film klasik. Semuanya berwarna cokelat lembut dan krem pudar. Tidak ada yang mencolok kecuali sweter Anna yang berwarna merah.
Kami duduk di kursi paling depan. Itu sebabnya Ibu sering memperingatkan kami untuk berperilaku sopan dan mendengarkan pertunjukan dengan baik. "Jadilah gadis-gadis manis hanya untuk malam ini."
Anna terkikik mendengarnya, membuat Ibu mencubit pahanya.
Kami menonton orkestra itu seperti gadis-gadis manis, sampai ketika Anna berbisik. "Aku tidak suka pertunjukannya."
Memang tidak ada yang spesial dari pertunjukannya, tetapi menurutku cukup menghibur. Gabungan beberapa alat musik yang mereka mainkan menciptakan suara yang ingin kugapai dan kubawa pulang.
"Musiknya keren, kok," jawabku.
"Orang yang memainkan piano seperti orang jahat."
Aku meliriknya, lalu tergelak. Anna selalu membuatku terkejut. Dia memperhatikan apa yang orang lain jarang perhatikan. Sejak tadi, yang aku perhatikan adalah cara mereka menciptakan suara-suara itu, bukan wajah mereka. Aku mencari si pemain piano dan melihat kalau dia mengerutkan dahi. Ada bekas luka di dagunya dan rahangnya mengeras. Dia memang tampak jahat.
"Itu hanya wajahnya," ucapku, "bukan kepribadiannya."
Anna terkikik lagi, kali ini sedikit lebih keras dari yang tadi karena itu spontan. Ibu langsung mencubit pahanya. Aku menggigit pipi bagian dalam agar tidak tertawa. Anna tampak berhati-hati ketika kembali berbisik, "Bagaimana kamu tahu kalau kepribadiannya tidak seperti wajahnya?"
Bagaimana aku tahu?
Dulu, aku pikir Rena adalah gadis yang mudah ditebak dari caranya berpakaian dan wajahnya. Tapi, setelah berteman dengannya selama bertahun-tahun, aku mulai berpikir dia tidak pernah bisa dijelaskan. Selalu tampak misterius. Dan, meskipun liar, dia juga punya sisi yang bisa dikendalikan.
"Aku tidak tahu, tapi aku yakin kalau tidak semua orang menunjukkan kepribadian mereka di wajahnya."
Anna menyipitkan mata, lalu mengangguk. Aku membelai rambut panjangnya yang hitam dan lembut, lalu kembali mendengarkan musik yang ingin kubawa pulang itu.
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co