Jam di dinding mengetik detik seperti hujan musim dingin,
bayangan kursi kosong menari-nari di lantai kayu.
Surat di meja menguning, tinta luntur tak sempat kusempurnakan.
Kata-kata bergelung seperti benang putus di ujung jarum.
Ia pergi, membawa kalimat yang pernah kita janjikan.
Di sudut ruang, kenangan berbisik dalam bahasa yang lupa kudengar.
Aku menghitung hari dengan jari yang keriput,
sementara angin menyapu halaman-halaman kosong.
Mungkin ia sedang menulis puisi untukku di negeri yang jauh,
tapi angin tak pernah membawa kabar dari sisi sana.
Aku biarkan jam berdetak,
sebab waktu adalah surat cinta yang tak pernah selesai ditulis.
Dan pada setiap jam yang berlalu,
aku belajar bahwa menunggu bukanlah kehilangan—
ia adalah seni menyimpan kepergiannya dalam kalimat yang tak pernah terucap.
Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
[PUISI] Jam Tua dan Surat yang Tak Dikirim

ilustrasi jam dan surat di atas meja (pexels.com/Pixabay)
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Editor’s Picks
Editorial Team
EditorYudha
Follow Us