Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi ruang keluarga yang gelap dan suram (Foto oleh Norexy art: https://www.pexels.com/id-id/foto/manusia-berdiri-di-formasi-batuan-menghadapi-gunung-3033868/)
Ilustrasi ruang keluarga yang gelap dan suram (Foto oleh Norexy art: https://www.pexels.com/id-id/foto/manusia-berdiri-di-formasi-batuan-menghadapi-gunung-3033868/)

Orang bilang rumah adalah tempat pulang,
tapi bagiku,
pulang hanyalah ritual mengganti baju dan menyimpan suara di saku celana.
Di sini, dinding mendengar lebih banyak daripada telinga manusia,
dan pintu selalu terbuka untuk tubuhku
bukan untuk hatiku.

Di rumah ini,
kursi tamu hanya paham berat tubuh,
bukan berat pikiran.

Ayah sibuk menambal atap yang bocor,
tapi tak pernah sadar,
lubang di dadaku lebih deras meneteskan hujan.

Ibu pandai mengatur bumbu,
tapi tak pernah tahu,
pahit di lidahku bukan dari kopi
melainkan dari kata-kata yang tak pernah diucapkan.

Kita makan malam bersama,
tapi tatapan hanya singgah di piring,
bukan di mata.

Tawa di ruang keluarga terdengar meriah,
namun rasanya seperti iklan mie instan:
hangat di layar, hambar di lidah.

Kadang aku ingin berkata,
"Ma, Pa, aku lelah."
Tapi di rumah ini,
kalimat seperti itu dianggap kutukan
sesuatu yang harus dibakar di tong belakang rumah,
bersama sampah dapur.

Maka aku belajar tersenyum di foto,
supaya keluarga bisa pamer di grup WhatsApp,
bahwa kami "bahagia".

Padahal, aku hanya pemeran figuran,
dalam drama keluarga yang katanya sakinah,
tapi naskahnya penuh coretan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team