Aku duduk di tepi waktu,
menganyam harap dari benang semu,
langit berganti warna,
tapi engkau tak juga tiba.
Langkahku sempat tegap,
tapi hari-hari mencabik sabar,
rindu berubah jadi kabut
menyesakkan dada yang lelah.
Katamu, tunggulah sebentar saja,
namun sebentar menjadi selamanya,
dan aku terjebak dalam jeda
yang tak pernah punya akhir cerita.
Menunggu, ternyata bukan sekadar diam
ia luka yang tumbuh perlahan,
menjadi beban di pundak harapan,
menjadi lelah dalam diam yang panjang.
Bila tak ada jawaban di ujung waktu,
biarlah aku pulang pada diriku,
karena menanti yang tak pasti,
adalah cara paling halus untuk menyakiti.