Di bawah lengkung batu yang megah,
riuh tepuk tangan menggulung seperti badai,
menutupi bisikan nyawa yang runtuh
di lantai arena yang menyimpan jejak merah.
Singa berparade di pagi hari,
taring mereka berkilat bagai pedang,
sementara bangsawan tertawa,
seakan hidup hanyalah permainan.
Di bawah terik yang tak mengenal belas kasih,
budak tanpa nama menghunus takdir,
yang sudah tertulis,
di mata para penonton haus drama.
Di lingkar batu yang selalu lapar,
sebuah cerita takkan pernah selesai.
Tentang ribuan jiwa yang dikorbankan,
dan tawa yang tak pernah merasa salah.
Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
[PUISI] Menghunus Takdir di Colosseum

ilustrasi Colosseum (unsplash.com/Matteo del Piano)
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Editorial Team
EditorSiantita Novaya
Follow Us