Sisa jejak langkah itu
membekas di tanah basah,
di mana doa-doa menguap
menjadi awan murung
yang tak pernah pecah.
Aku menghitung jarak
antara kau dan musim—
entah gugur atau kemarau,
namun selalu ada daun
yang tak rela berpulang.
Ruang ini penuh gema,
bukan kata-kata,
hanya seruan waktu
menikam dinding-dinding
yang kita bangun dengan kesunyian.
Aku letakkan diriku
di antara jeda napas
dan denting jam yang asing,
menunggu,
sewajar air melahirkan lingkaran
ketika batu kecil tenggelam.
Mungkin ruang
bukan lagi milik kita,
namun bayangmu masih tinggal,
berpendar di cahaya
yang jatuh dari sisa jendela.