TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[CERPEN] Tujuh Hari Bersajak

Aku titipkan kata-kata ini untukmu

Unsplash/Álvaro Serrano

Hari Pertama

Lembut sinar merkuri menghiasi

Pelataran bernama bumi asri

Tetapi aku tetap menanti

Agar kaki dapat menari

           Aku masih terbaring di ranjang putih dengan tanganku terbelit selang kecil penunjang kehidupan. Nafas selalu tersengal hampir tiap jam dan dada sesak dibuatnya. Pandangan sering kabur lalu membuatku tidur tanpa sadar. Itulah detik dari kehidupanku selama ini.

           Aku rindu pada hangatnya matahari. Sinarnya memberikan harapan serta semangat pada jiwa ini. Ia membentuk bayang yang memperkenalkan arti teduh perlindungan. Pun arti dari membara melalui panasnya.

           Sesekali matahari merengsak masuk ke dalam kamar kurungan ini. Ia bernama Puspa. Perempuan berambut panjang dengan suara cempreng khas penyanyi sopran yang selalu keluar untuk mengomeli. Ia sesekali, sekali dalam sehari, datang untuk sekedar membuatku merasa lebih hidup. Jiwaku tetap membara dalam diskusi bersamanya walaupun di dalamku menipis. Imajinasiku tumbuh meliar mengikuti ceritanya tentang alam. Buku bawaannya memberi kekuatan agar nafas ini tetap ada untuk membaca.

           Tetapi, hari ini matahariku meredup. Setelah orang yang merasa menjadi pemegang nafasku memberitahu tentang sisa waktuku. Ia tampak sangat kecewa dengan keadaan, sedangkan hatinya pasti mengerti apa yang telah terjadi. Mata cokelatnya berlinang air bagai gunung yang akan tenggelam. Aku harus membuatnya bersinar sedikit lagi sebelum aku dipanggil Yang Maha Kuasa.

           “Aku ingin membuat permintaan. Bisakah kalian mengabulkannya?”

           “Iya nak, apa yang kau inginkan? Ibu akan mengabulkannya”

           “Bicarakan nak, ayah akan selalu ada di sampingmu.”

           “Bagas, aku akan mencoba mengabulkannya.”

           “Ayah, Ibu, dan Puspa, izinkan aku melakukan hal-hal yang tidak pernah aku lakukan dari dulu. Tidak perlu aku buat daftarnya cukup kalian datang saja ke kamar ini. Aku akan memberitahu setiap harinya setelah kalian datang semua. Maafkan keegoisanku dan tolong manjakanlah aku untuk saat ini.”

           Ayah terlihat sangat kuat kali ini. Ia kokoh berdiri di hadapanku dengan usapannya di kepalaku. Aku mengerti engkau mengharapkan anak sama sepertimu kuat berdiri di terpaan hidup. Sedangkan aku terkikis oleh kehidupan itu sendiri, berbeda dengan harapanmu. Tetapi, engkau sekarang tetap berdiri tanpa linangan karena mengerti jika sedikit saja engkau bergeming aku akan kehilangan topanganku yaitu dirimu.

           Ibu menenggelamkan kepalanya dalam selimutku sembari mengusap pipiku. Hangat sekali sampai aku teringat rasanya berada di rahimmu. Aku mengerti engkau bergetar hebat dalam usapanmu itu. Kehilangan anak satu-satunya bukanlah cobaan biasa bagi seorang ibu. Pada titik ini, aku menanyakan apakah Tuhan mengerti apa yang dirasakan ibuku kali ini?

           Puspa hanya tersenyum dengan air mata tidak terbendung. Ah, matahariku mencoba tetap bersinar di balik umbra dan penumbra. Jika aku mampu untuk meminta apapun kali ini, hanya satu yang aku inginkan. Menyingkirlah kau gerhana bernama kematian dari matahariku.

Hari Kedua

Nafasku memang tidak sempurna

Tersengal oleh ruwetnya dunia

Terasingkan oleh keadaan,

dari perintah takdir-Nya

Tetapi aku harus tetap ada

Walaupun aku akan tiada

Melalui tulisanku sebagai perantara

           Imajinasiku tertuang dalam kata per kata yang aku ketikkan. Paragraf satu menuju paragraf lainnya yang indah sekali tergambarkan. Menunjukkan kehidupan singkat penuh kejadian dari Rabb-Nya. Siapa yang melukisnya? Aku sendiri atau Tuhanku Yang Maha Esa? Sungguh aku tidak mengerti, tetapi semua tertulis begitu saja.

           Tulisanku berderet dengan fokus tentang impian. Yang umumnya impian merupakan tenaga tersendiri dari hamba untuk berjalan menyusuri bumi-Nya. Banyak sekali yang mengudara lalu tercecer di jalanan, tetapi tidak sedikit juga yang menghujam penuh pemiliknya. Bagiku semuanya indah, entah impian yang telah terpenuhi maupun impian yang terinjak. Mereka semua memiliki celah-celah kecil berisi keindahan dunia. Tinggal bagaimana kita mengerti dari sudut pandang mana. Milikku telah jauh pergi diambil oleh takdir. Iya, impianku adalah untuk hidup lebih lama lagi.

           “Apa yang kau tulis sedari tadi? Makanlah terlebih dahulu. Kamu ingin aku kena omelan orangtuamu? Aku mengerti menulis bagimu seperti bernafas, tetapi setidaknya ajaklah aku mengobrol. Aku sedikit benci kamu yang cuek saat sedang menulis. Aku ini di sampingmu. Mengertilah.”

           Pas sekali dia mengomel kali ini. Membuat aku semakin liar dalam menulis. Tentu saja, karena ia adalah sumberku untuk menulis. Penuntunku melalui bait-bait yang keluar dari mulut manisnya. Ia lah pemaksaku dalam menulis. Anehnya aku, pemilik julukan otoriter, suka dipaksa olehnya. Mungkin karena sejak awal bertemu aku mengerti bahwa ia duniaku.

           Permintaanku kali ini hanya menulis seharian bersama Puspa. Sederhana, tetapi inilah yang aku inginkan sebab sudah tiga tahun jemariku tidak meliar. “Tidak boleh terlalu dipaksa untuk berpikir. Itu akan membebani tubuhnya sendiri”, itulah kata si Dokter. Padahal bagiku berpikir sama saja dengan menutrisi tubuh. Ia selalu sok tahu tentang keadaanku lalu mengurungku dengan sabdanya.

           Aku lelah sekali. Tinggal beberapa kalimat untuk ending kemudian cerita ini selesai. Cerita tentang seorang anak yang menyusuri jalan setelah kematian untuk kembali ke dekapan ibunya lagi. Akhir ceritanya? Ia tidak bisa kembali lagi karena ibunya masih hidup dan ia telah mati. Tidak ada orang mati lalu hidup kembali bukan? Akhir manis, sama seperti ceritaku.

Hari Ketiga

           Siapa penghias dunia tetapi terlihat jarang?

           Bagaimana bunga disukai kumbang?

           Apa itu dipinggir pantai dan menggalang?

           Di mana letak hamparan yang kepalang?

           Kapan es melanda ladang?

           Lalu kenapa aku tidak bisa hidup untuk terus bertualang?

           “Hai sayang, ini ibu nak. Tidak perlu takut, di sini juga ada ayah. Puspa menunggu di depan. Apa kau jadi jalan-jalan hari ini? Kemarin sebelum kamu pingsan, Puspa mendengarkan pesanmu untuk hari ini. Ayo sini ibu bantu kamu duduk.”

           Ibu maafkan aku membuatmu terus menderita. Sesekali aku ingin melihatmu benar-benar tersenyum. Tidak mungkin ya? Mana ada Ibu yang bisa tersenyum ikhlas dari hati ketika mendapati anaknya bertubuh lemah dan akan meninggalkannya segera. Andai aku bisa protes pada Sang Pencipta, aku ingin engkau diberi anak yang kuat untuk dapat menemani hari-harimu. Seorang anak pengukir senyum hati di wajahmu yang menua.

           Kursi rodaku didorong oleh orang-terkuat-sejagad. Ia selalu mengusapku dengan tangan kasarnya lalu menggendongku ketika aku ingin ke suatu tempat yang mustahil untuk aku jangkau. Satu-satunya orang dengan tanpa air mata yang selalu berada di sampingku. Ayah.

           Puspa menunggu di ujung lorong. Membungkuk hormat kepada kedua orangtuaku lalu mengobrol dengan ibuku. Hari ini Puspa sangat cantik dengan gaun biru berhiaskan motif bunga. Rambutnya yang biasa terurai diikat menunjukkan keanggunannya.

Ayah memberitahu hari ini kami akan menuju hutan pinus diujung kota. Tempat itu tidak hanya berisi pohon pinus, tetapi juga kebun bunga. Aku pernah sekali ke sana saat pertama kali bertemu dengan Puspa. Seorang insan dengan tragedi sebagai pakaian penutup hidupnya.

Sepanjang jalan menuju ke sana, Puspa ramai sekali menceritakan tentang bunga lavender, bunga edelweis, dan bunga apalah itu aku tidak tahu. Sesekali ia menyuapiku dengan kesombongannya akan ilmu pengetahun. Iya, dia memanglah gadis pintar nan anggun. Pahit sekali takdir mempertemukan dirinya denganku.

Kami sampai di tempat. Udara dingin menyambut. Itu membuat nafasku sangat tersengal. Kulitku serasa ditusuk jarum-jarum kecil. Dadaku sesak sekali seperti ada yang menekan dengan keras.

Sebuah kehangatan datang. Ibuku mendekapku erat sekali. Ayah mengusap punggungku yang mengecil karena udara dingin. Puspa terlihat samar sibuk mencari air putih. Kemudian aku tersenyum kecil melihat tingkah kebingungan mereka.

“Ayah, Ibu, aku sudah lebih baik. Ayo kita ke kebun bunga. Sebelum banyak yang datang ke sini. Memalukan untukku jika dilihat banyak orang.”

Mereka membawaku menelusuri pepohonan pinus. Aku rindu setapak ini dengan hawa sejuknya. Bersamaan dengan gemerisik dedaunan yang selaras dengan kicauan burung. Hangat matahari memaksa masuk di antara dedaunan. Jalanan inilah pembuktian bahwa aku masih bisa menikmati sekitar di sela kehidupanku yang singkat.

           Hamparan bunga berwarna merah, kuning, dan ungu menghempas daratan setelah pepohonan terlewati. Harum, tenang, dan sejuk itulah tempat ini saat aku berjalan di sini dulu. Sekarang, aku hanya dapat melihatnya tanpa merasakan sensasi. Bagiku ini sudah lebih dari cukup karena aku dapat melihat tempat pertemuanku dengan Puspa.

           Ia adalah gadis bodoh yang mencoba bunuh diri dan menyebarkan darahnya di taman bunga ini. Apa dia mau mengakhiri hidup di depan orang yang selalu berdampingan dengan kematian? Aku tidak akan mengizinkannya. Saat itu aku menarik pisau dari tangannya lalu aku goreskan ke tanganku. Ia kelimpungan melihat tindakanku lalu bingung menekan darah yang menyucur keluar.

“Apa kau melihat darah ini keluar dariku? Takutlah! Karena ini yang akan terjadi jika kau melanjutkan tindakanmu. Kenapa kau malah kebingungan? Kau mengerti arti dari kematian bukan? Kematian bukan hanya tentang hilangnya suatu eksistensi, tetapi juga duka dari alam semesta. Kau pikir dirimu begitu rendah? Coba katakan padaku, kenapa kau masih bisa berdiri sedang kau merasa rendah? Sungguh bodoh dirimu!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Puspa menirukan kata-kata yang keluar dari mulutku pada waktu itu. Air matanya menetes lagi untuk sekian kalinya. Mungkin ia mengingat pelukan pertamanya denganku serta tangisan keras darinya padaku yang orang asing. Waktu berlalu dan kami berbagi kisah seusai pertemuan berdarah kala itu. Ia mengisahkan dirinya dengan begitu panjang seperti dongeng pengantar mimpi buruk. Kisahnya pedih sebab dari orangtuanya sendiri. Perceraian, kekerasan pada anak, pelecehan seksual, bullying, pengucilan, apalagi yang belum aku sebutkan? Terlalu banyak tragedi menyelubungi sosok indahnya.

Aku ingin sekali lagi mendekapnya agar paling tidak ia sedikit lupa tentang tragedi yang terus bersemayam di masa lalunya. Bukan hanya itu, biarkan aku menerima semua rasa sakitnya. Aku tidak tega gadis ini selalu berjalan dengan nestapa sebagai pakaiannya. Biarkan aku hidup untuk terus merasakan matahari dan duniaku ada bersamaku.

Hari Keempat

Pandangan dunia memang gelap

Tetapi tidak sehitam hidup

Karena ia tidak saling mendekap

Sesuai individu sepertiku,

yang dihukum untuk tetap senyap

“Bagas, tetaplah bersamaku. Bernafaslah. Buktikan kau masih ingin tetap hidup Bagas. Jangan terus membuat Ibumu pingsan. Ayo Bagas, mengertilah aku akan sangat terluka jika kamu tidak ada di sampingku. Ayahmu tidak menjadi kokoh lagi. Hangatnya Ibumu sirna seperti mimpi. Ayolah Bagas!”

“Dok, bagaimana? Apa yang harus dilakukan? Anda berkata bahwa masih ada waktu. Berikan dia waktu dok! Jangan biarkan anakku mati!”

Kalian berisik sekali, aku jadi tidak bisa tidur. Di mana ya ibu? Aku kedinginan sekali. Aku butuh selimut, Bu. Mungkin ibu sedang tidur karena lelah merawatku. Maafkan aku telah merepotkanmu, Bu.

Hari kelima

Ikatan ada bukan untuk mainan

Karena ia bukti adanya iman

Melalui kepedihan dan kepercayaan

Lalu melewati realita,

untuk bersemayam dalam kehidupan

Kita sekarang telah sah menjadi suami dan istri. Semoga aku dapat membawa ke surga setelah ini. Aku memang suami durhaka karena akan meninggalkan dia sehari setelah pernikahan. Apa dia akan marah? Atau sebal? Aku tidak tahu. Tetapi wajahnya terlihat damai sekali. Ia tenggelam dalam kebahagiannya sembari memelukku di atas kasur.

Sudah berapa lama ya? Setahun? Tidak pasti lebih dari itu. Pertama kali aku bertemu dengannya. Saat itulah aku mencintai dia secara langsung. Indah bukan? Diberi cinta oleh Tuhan saat sedang mendekati kematian.

Ini tidak tragis, hanya saja aku terlalu bahagia saat ini untuk menyebut semuanya adalah lara. Berkah, kata yang tepat kali ini. Ibu, ayah, dan Puspa semua tetap ada di sampingku walaupun tahu aku akan meninggalkan mereka. Manifestasi cinta sejati dari manusia bukan?

Puspa, gadis ini begitu kuat. Dengan berbagai kisah masa lalunya. Kemudian bertemu dan mencintai orang yang waktunya sangat singkat. Aku sangat bersyukur memiliki dia diantara kehilanganku akan semua kepemilikanku pada hidup.

Aku tidak akan menjadi seorang ayah. Hanya hari esok sisa waktuku. Ironis sekali, harapan masa kecilku agar aku nantinya tidak menjadi ayah karena itu merepotkan terkabulkan. Menjadi sok kuat seperti ayah memang merepotkan, tetapi itulah ayah.

Puspa masih bisa menjadi ibu. Ia akan memiliki anak walaupun tidak dari aku. Bahagia. Dia harus bahagia setelah aku tiada. Akan aku pastikan nantinya di sana. Dekapannya aku memberi arti lebih bagi anaknya. Kisahnya akan membuat dirinya dapat mengajarkan tentang kehidupan lebih dalam kepada anaknya. Ia harus tetap hidup. Aku ingin hidup.

Hari Keenam

Kematian bukanlah akhir

Hanya kejadian pengukir

Pada tiap hati terpelintir

Karena kehidupan yang akan tersingkir

Puspa menulis sesuatu di sebelahku. Aku tidak peduli dengan tulisannya karena itu mungkin hanya sajak yang akan diberikan padaku nantinya. Rambutnya lebih menarik perhatianku. Ia tidak mengurai rambutnya pun tidak diikat. Kepangan menghiasi rambutnya dengan gaya melingkar. Tampak seperti ibu saat aku kecil dulu. Pakaiannya juga tidak seperti biasanya. Ia mengenakan pakaian khas ibu-ibu.

“Jangan tertawa, kamu mau aku pukul? Aku ingin terlihat seperti ibumu. Kamu tahu kan waktu kita tidak banyak?”

Benar juga ya. Ia pasti juga ingin menggendong bayi seperti ibuku. Atau mengelus kepala anaknya. Mungkin juga mengomeli anaknya seperti dia mengomeli aku. Maafkan aku, sayang. Pasti berat sekali menjadi dirimu.

Hari Ketujuh

           Sudah sampai akhir cerita

           Tirai telah tertutup mesra

           Jangan menangis asmara

           Selamat tinggal semua

***

Untuk Bagas,

Aku tidak pandai berkata seperti kamu. Semoga semua tersampaikan.

Kamu mengetahui semua seluk belukku. Tiap nestapaku, laraku, dan tragisku telah kamu terima sepenuhnya. Tubuh lemahmu itu pasti tidak akan tahan lama. Pikiranku menyampaikan jika kamu akan meninggalkan sesegera mungkin setelah menerima semua rasaku.

Kenyataanya kamu masih berada di sampingku. Memberiku kehidupan kedua yang penuh kebahagiaan. Kamu membuatku lupa akan kisah masa lalu. Seakan kehidupanku berlalu tanpa adanya tragedi.

Aku ingin kamu tetap ada di sampingku. Sekali lagi untuk tetap hidup bersamaku. Aku egois. Memang itulah aku. Penggerutu hingga kamu diberi keajaiban. Setidaknya agar lebih lama kita untuk menimang cinta kita.

Berbicara tentang cinta, hanya kamu satu-satunya cintaku. Orangtuaku bahkan tidak memiliki sosok dalam perjalananku. Hidup dan mati bukanlah pemisah dari cinta. Itulah yang selalu kamu yakinkan padaku. Aku harap itu bermanifestasi suatu saat nanti.

Tetaplah hidup, sayang.

***

Hari pertama, untuk kedua kalinya juga pertama kalinya.

           Kamu tetap saja bodoh

           Tidak ada kata lagi

           Semuanya berantakan

           Sama seperti rima ini

           Akan aku kabulkan permintaanmu, sayang. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan tetap berada di sisimu. Kita akan bernafas bersama, memakan es krim di depan toko bersama, dan mengunjungi taman bunga itu lagi bersama. Sampaikan salamku pada Tuhan, aku akan menemuimu nanti Puspa.

Writer

aryasuta rajendra rahmatullah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya