Aku membencinya. Sangat membencinya.
Sejak kecil, aku selalu melihat sosoknya sebagai pria yang kasar, kaku, dan tak pernah benar-benar hadir dalam hidupku. Ayah selalu pulang larut malam dengan tubuh yang dipenuhi keringat dan aroma rokok. Suaranya keras, bahkan ketika ia hanya berbicara dengan Ibu.
Aku iri pada teman-temanku yang sering dijemput ayah mereka di sekolah. Sementara aku? Aku pulang sendiri atau, kalau beruntung, Ibu datang menjemput dengan sepeda tuanya.
“Ayah sibuk,” kata Ibu setiap kali aku bertanya kenapa Ayah tak pernah menjemputku.
Sibuk? Bagiku, itu hanya alasan. Yang aku tahu, Ayah lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dibandingkan bersamaku.
Aku tumbuh dengan perasaan yang jauh darinya. Setiap kali Ayah mencoba mengajakku bicara, aku hanya menjawab seadanya. Ketika dia membelikanku sesuatu, aku menerimanya tanpa rasa terima kasih. Aku menutup hati untuknya.
Namun, semua itu berubah pada suatu hari.
---
Pagi itu, aku berangkat sekolah seperti biasa. Tak ada firasat buruk. Aku tertawa bersama teman-temanku, menjalani pelajaran dengan setengah hati, dan menunggu jam pulang dengan tidak sabar.
Ketika bel berbunyi, aku berdiri di gerbang sekolah, menunggu Ibu menjemput. Tapi Ibu tak kunjung datang.
Lima belas menit. Tiga puluh menit. Satu jam.
Aku mulai gelisah. Biasanya, kalau Ibu telat, dia akan menelepon wali kelasku. Tapi kali ini, tidak ada kabar.
Hingga seorang tetangga datang dengan wajah panik.
“Raka, ayo pulang sekarang!”
Aku menatapnya bingung. “Ada apa, Bu?”
“Pokoknya cepat pulang!”
Aku berlari sekencang mungkin, hatiku berdebar keras. Saat tiba di rumah, aku melihat banyak orang berkumpul di depan. Beberapa ibu-ibu berbisik satu sama lain dengan wajah cemas.
Langkahku melambat. Aku merasa ada sesuatu yang salah.
Di ruang tamu, Ibu terduduk di lantai, menangis tersedu-sedu. Dan di tengah ruangan, Ayah terbaring lemah, tubuhnya penuh luka dan lebam.
Jantungku serasa berhenti berdetak.
“Ayah kenapa?” suaraku bergetar.
Ibu menoleh, matanya bengkak dan merah. “Ayahmu kecelakaan, Nak…”
Aku mendekat, duduk di sampingnya. Tanganku menggenggam tangannya yang kasar dan dingin. Untuk pertama kalinya, aku melihat Ayah dalam keadaan tak berdaya.
Dengan suara lirih, Ayah berbisik, “Maaf… Ayah tidak bisa sering di rumah… Ayah bekerja keras… untuk kamu… untuk keluarga kita…”
Aku terdiam.
Pikiranku kacau. Semua kenangan masa kecilku berputar di kepala. Aku mengingat saat Ayah pulang larut, saat dia tidak sempat menghadiri acara sekolahku, saat aku menangis sendiri di kamar karena merasa diabaikan.
Tapi aku tidak pernah berpikir… bahwa semua itu dia lakukan untukku.
Ayah tidak pernah mengeluh. Dia tidak pernah menunjukkan lelahnya. Dia memilih bekerja keras agar aku bisa sekolah, agar aku tidak merasakan kesulitan seperti yang ia alami dulu.
Dan aku? Aku justru menganggapnya tidak peduli. Aku membencinya tanpa benar-benar mencoba mengerti.
Tangisku pecah.
“Ayah, maaf…” suaraku bergetar. “Maaf aku pernah membencimu…”
Ayah tersenyum lemah, lalu matanya perlahan tertutup.
Saat itu, aku sadar… aku kehilangan seseorang yang paling mencintaiku, dengan caranya sendiri.