Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Anak Laki-laki dan Harapan Ayah

Potret ayah dan anak laki-laki pexels.com/George Pak
Potret ayah dan anak laki-laki pexels.com/George Pak

Malam ini terasa begitu tenang tanpa ada pukulan maupun makian bagi Satya. Seorang remaja bernama Satya Widyananta merupakan putra tunggal dari seorang tentara yang tinggal di asrama militer. Satya hanya tinggal bersama Ayahnya karena Ibunya telah meninggal karena kecelakaan. Hampir setiap hari Satya harus menerima pukulan dari Ayahnya dengan berbagai alasan. Ia bisa bernapas lega saat malam hanya jika Ayahnya memiliki panggilan kerja.

Satya keluar dari rumah dan menyusul para tentara yang berkumpul di dekat pos penjagaan. Ia terus berpikir mengapa Ayahnya sangat ingin Satya menjadi bagian dari tentara-tentara itu.

"Hai, Satya! Malam ini aman? Kenapa murung begitu?," tanya tentara bernama Adit.

Satya hanya menghela napas panjang sambil memandangi para tentara. Bang Adit menarik tangan Satya dan mengajaknya ke tempat yang lebih sepi. Mereka kini duduk berdua di dekat lapangan asrama.

"Bang Adit dari kecil sudah tinggal di asrama kan? Apa Bang Adit juga dipukuli setiap malam seperti aku?," tanya Satya.

"Itu hal yang wajar sebagai anak kolong walaupun tidak sesering kamu. Apa yang membuat Ayahmu marah sampai memukulimu terus?," lanjut Bang Adit.

"Aku hanya tidak ingin terus tinggal di barak ataupun asrama seumur hidup. Hanya saja Ayah ingin aku jadi seperti dia, seperti Bang Adit juga. Karena itu aku terus melawan dan akhirnya kami bertengkar," jawab Satya.

Bang Adit tidak ingin banyak berkomentar mengenai keinginan dan masalah keluarga Satya. Keinginan dan impian Satya merupakan haknya. Namun, Bang Adit berpikir bahwa Ayah Satya yang ingin putranya juga menjadi tentara pasti ada alasannya. Ia meminta Satya untuk bertanya pada Ayahnya secara langsung tentang alasannya. Ia juga meminta Satya untuk tetap tenang dan jangan membantah Ayahnya agar tidak dipukul lagi.

Keesokan harinya, Satya sedang bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Ia mendengar suara motor berhenti di depan pintu rumahnya. Ia tahu bahwa itu adalah suara motor ayahnya. Ia keluar dan berpamitan kepada Ayahnya untuk berangkat sekolah. Satya teringat sekilas tentang permintaan Bang Adit untuk menanyakan langsung pada Ayah.

"Sudah sarapan?," tanya ayah sambil melepas sepatu di kursi depan rumah.

"Sudah," jawab Satya

"Jangan lupa nanti sore latihan fisik," sahut ayah.

"Ayah, kenapa Ayah ingin aku jadi tentara? aku tidak mau latihan, aku tidak mau tinggal di asrama lagi, dan aku tidak mau dipukuli Ayah terus," tanya Satya dengan suara yang bergetar.

"Karena kamu anak semata wayang Ayah, Sat. Ayah mau kamu bisa berada di posisi yang lebih tinggi dari ayah," jawab Ayah dengan mata penuh harapan.

"Tapi aku juga punya impianku sendiri Yah," teriak Satya.

Satya tidak dapat menahan dirinya untuk tetap tenang. Ia segera berlari setelah berteriak pada Ayahnya. Ia terus berlari sambil menahan tangis, kesal, dan amarah. Satya berpikir jika Ibunya masih hidup pasti akan mendukung apapun keputusannya. Setelah teringat tentang Ibunya, ia menghentikan langkahnya kemudian berbalik dan mengambil jalan yang berbeda dengan arah ke sekolah. Bukan ke sekolah, Satya justru duduk di samping makam sambil menatap tumpukan tanah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Ibunya.

"Aku rindu Ibu," ucap Satya.

Satya berpikir ayahnya tidak menyayanginya. Sejak Ibunya tiada, Ayah mulai sering memukulnya.

Tidak terasa satu jam berlalu sejak Satya duduk di samping makam iIbunya. Ketika tiba di depan sekolah, ia melihat gerbang yang sudah tutup. Satya memutuskan untuk pulang walaupun harus menerima pukulan Ayahnya lagi. Tepat di depan pintu rumah, langkahnya terhenti. Ia mendengar Ayahnya sedang berbicara dengan sesorang. Satya mengenali suara itu. Ayah sedang berbicara dengan Bang Adit. Satya hanya duduk di kursi depan rumah sambil mendengarkan pembicaraan mereka.

"Tadi malam Satya bercerita tentang dirinya dan Om. Saya kasihan melihatnya. Kenapa Om melakukan itu?," tanya Bang Adit pada Ayah.

"Dit, Om sebenarnya juga tidak tega melakukan itu. Tapi Om mau melatih mental dan fisiknya agar suatu saat Om sudah tidak bisa menemaninya lagi, dia bisa menjaga dirinya. Satya tidak punya saudara, dulu dia sangat dimanja Ibunya. Lalu setelah Ibunya meninggal Om sadar, manusia pasti akan mengalami kematian. Dan jika Om sudah tidak ada, Satya akan benar-benar sendiri. Om ingin dia punya mental yang kuat untuk menghadapi dunia yang keras ini," jelas Ayah.

"Lalu kenapa Om ingin Satya jadi tentara juga?," tanya Bang Adit lagi.

"Kamu juga tahu dia anak nakal yang kurang menguasai pelajaran di sekolahnya. Om bukan merendahkan karena dia pasti bisa jika terus belajar. Hanya saja jika dia ingin kuliah, biayanya tidak murah, sedangkan pendidikan tentara itu gratis. Selain itu, Om mau dia punya jabatan yang lebih tinggi dari Om jika menjadi tentara. Dengan begitu Om harus menghormatinya, kan? Itu bisa menjadi cara baginya untuk membalas pukulan Ayah pada anaknya selama ini," jelas Ayah dengan matanya yang berkaca-kaca.

Tanpa Satya sadari air matanya sudah membasahi seluruh pipinya. Ia menangis sambil bertanya-tanya mengapa Ayahnya tidak menjelaskan semua itu padanya secara langsung. Satya berdiri lalu segera masuk ke dalam rumah. Satya memeluk Ayahnya dengan tangisan tersedu-sedu. Ayah dan Bang Adit terkejut mengapa anak yang seharusnya ada di sekolah justru menangis disini.

"Aku sayang Ayah. Kenapa Ayah tidak bilang dari awal kalau semua itu demi aku? Kenapa Ayah malah membuatku merasa Ayah tidak sayang padaku? Aku mau Ayah tetap disini mendampingi aku. Aku tidak mau sendirian di dunia," ucap Satya sambil terus menangis memeluk Ayah.

Pada akhirnya Ayah juga tidak dapat menahan tangisnya. Ia memeluk erat putranya dan meminta maaf. Ayah memang sosok yang keras. Namun dibalik sosok kerasnya itu, ada sejuta harapan, kasih sayang, dan cinta pada anaknya. Ayah memang tidak selugas Ibu dalam menyampaikan kasihnya, tapi Ayah memberi kasihnya dengan caranya sendiri yang terkadang tidak dipahami anaknya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faisa R
EditorFaisa R
Follow Us