Suatu sore yang tidak begitu panas. Matahari sudah tertutup awan, atau barangkali sudah mulai bersembunyi di balik cakrawala. Usman tengah duduk di ruang tamu rumahnya, pintunya sengaja dibukanya, untuk mengawasi Fatimah yang tengah bermain di halaman rumah. Annie duduk di depan Usman, sambil memandangi layar telepon pintarnya, sesekali dilihatnya anak bungsu mereka, Fatimah, untuk mencegah supaya ia tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya.
Fatimah, di usianya yang hampir 4 tahun, memang belum bisa untuk mengenali apa saja yang bisa membahayakan dirinya. Diagnosis dokter adalah bahwa Fatimah memiliki gejala autisme, akan tetapi, hal tersebut bisa ditanggulangi dengan terapi dan pemberian stimulasi guna merangsang daya pikir dan kemampuan verbal Fatimah. Ironisnya, sampai sekarang, walaupun sudah diterapi di sekolahnya, gejala autisme Fatimah masih belum berhasil disembuhkan. Hal yang membuat Usman dan Annie berpikir keras setiap harinya.
Usman tengah berpikir, setelah tadi melihat percakapan di grup whatsapp messenger yang diikutinya. Rata-rata merasa paling benar, dalam menyampaikan pandangannya masing-masing. Ada juga beberapa yang merasa tahu segala, menyinggung-nyinggung teori yang dikeluarkan Pak Jenggot, seorang filsuf dari Jerman.
Usman jadi teringat kata-kata terakhir Pak Jenggot terhadap salah seorang filsuf Jerman, yang dikritiknya, “Para filsuf hanya bisa menafsirkan dunia dengan berbagai cara, intinya adalah mengubahnya”. Kebetulan dulu, walaupun tidak terlalu ahli, Usman gemar membaca buku-buku karya Pak Jenggot tersebut. Sehingga ia paham inti pandangan dari filsuf Jerman tersebut.
Usman kemudian mengingat sejarah hidupnya, apa saja yang telah diperbuatnya, untuk mengubah dunia? Menjadi seorang yang berasal dari Ranah Minang, yang masuk partai revolusioner, yaitu Partai Bintang Gerigi (PBG)? Ah tidak juga, ia ingat bahwa ia bukanlah yang pertama. Ada Ismail, orang Minang, yang pertama kali masuk PBG.
Ismail lah orang yang ikut andil dalam mendirikan Serikat Buruh untuk Perubahan Indonesia (SBPI), pada masa Orde Baru. Ia juga sempat menjadi incaran penguasa Orde Baru, dan mendekam beberapa bulan dalam penjara Rezim Orde Baru.
Baiklah, pikir Usman, “Kalau begitu, aku mungkin jadi orang pertama dari Kampuang, yang bergabung dengan PBG.” ucapnya dalam hati.
Kampuang adalah salah satu Kotamadya di provinsi Sumatera Barat, ia berada di jalan lintas Sumatera, tempat bus-bus lewat dari arah Riau menuju ke Jakarta. Orang-orang di Kampuang ini, memang sebagian besar tidak terlalu memahami dan menyenangi ideologi kerakyatan, baik yang sesuai dengan teori yang dikembangkan Pak Jenggot, maupun yang dikembangkan masyarakat tradisional di Jawa, seperti masyarakat Samin.
Akan tetapi, sebenarnya budaya masyarakat Kampuang, pada dasarnya cenderung melakukan segala sesuatu secara kolektif, seperti memasak bersama untuk kenduri, atau acara-acara adat lainnya, seperti pesta pernikahan, dan lain-lain. Hanya saja, mungkin karena kebijakan Orde Baru, yang melarang ajaran Pak Jenggot untuk disebarluaskan, membuat masyarakat Minang pada umumnya, juga ikut anti terhadap ajaran Pak Jenggot.
Konon kabarnya, seorang kawan yang sama-sama anggota PBG, Martinus dari Nusa Tenggara Timur (NTT), pernah bercerita pada Usman, bahwa dulu Wilad, teman Usman, yang juga berasal dari Kampuang, sempat akan diajak masuk PBG. Akan tetapi, Wilad malah aktif di Dewan Mahasiswa (DEMA) UGM, dan mendirikan organisasi mahasiswa tingkat nasional, yang bernama Serikat Mahasiswa Nasional (SMN).
“Ayah lagi mikir apa?” tanya Annie, istrinya, kepada Usman, tiba-tiba.
“Ah tidak apa-apa Bunda, aku hanya berpikir, apa yang telah aku lakukan untuk mengubah dunia?” jawab Usman.
“Apa saja itu?” tanya Annie lagi.
“Tidak banyak sebenarnya, Bunda, seingatku, apa yang kulakukan, sebenarnya telah dilakukan orang lain juga.” jawab Usman lagi.
“Iya Yah, kelihatannya memang bukan Ayah yang selama ini sudah mengubah dunia dan orang-orang di sekitarnya.” ucap Annie.
“Kalau begitu, siapakah dia yang sudah berhasil melakukan hal itu Bunda?” tanya Usman.
“Ali lah yang sudah melakukannya Yah. Ayah lihat dulu ketika kita di Inggris, teman-temannya orang asli Inggris, awalnya sangat individualis. Akan tetapi, setelah Ali berteman dengan mereka semua, sifat individualis mereka perlahan hilang. Mereka semua kemudian ikut menangis ketika Ali harus meninggalkan mereka, karena kita harus pulang ke Indonesia.” jelas Annie kepada Usman.
“Betul juga ya Bunda. Dulu pun waktu Ali masuk SMP (Sekolah Menengah Pertama), di sekolahnya belum ada jalur landai. Setelah Ali ada di sana, pihak sekolah membangun jalur landai di berbagai tempat di sekolah, untuk memudahkan Ali yang menggunakan kursi roda guna membantu mobilitasnya.” ucap Usman menyetujui istrinya.
Usman teringat bahwa pihak sekolah kemudian membuat kebijakan bahwa Ali dan teman-temannya menempati lantai satu, sekolah, sampai mereka lulus. Ali juga sangat bahagia dengan lingkungan sekolahnya tersebut, guru-guru, kepala sekolah, teman-temannya, semua sangat peduli kepada Ali.
Mamanya Janet, teman Ali bahkan pernah berkata pada Usman dan Annie, bahwa yang membuat teman-teman Ali ini tidak individualis, adalah karena faktor Ali. Entah mengapa, ia juga kurang paham penyebab dari Ali bisa menjadi perekat hubungan pertemanan semua teman-temannya itu.
Bahkan ketika menonton film di bioskop bersama, mereka semua memilih duduk di barisan paling depan. Karena kondisi Ali yang lumpuh layu, akibat sindrom Spinal Muscular Atrophy (SMA) yang dideritanya, membuat ototnya melemah setiap harinya, maka tidak mungkin bagi Ali untuk duduk selain di barisan depan di deretan kursi bioskop.
Hal yang hampir sama, kemudian terjadi, ketika Ali bersekolah di sebuah SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) Favorit di Jogja. Awalnya, karena ketiadaan jalur landai, maka Usman memutuskan untuk menaruh jalur landai portabel yang mereka miliki di SMAN tempat Ali bersekolah. Akan tetapi, semester berikutnya, SMAN tersebut telah selesai membangun jalur landai, di semua tempat di sekolah, sehingga kursi roda Ali bisa mengakses semua tempat tersebut dengan mudah.
Ali juga banyak mendapat teman baru, karena kepribadiannya yang supel dan mudah bergaul. Teman-temannya, baik laki-laki maupun perempuan, biasanya sangat senang, ketika berada di dekat Ali. Tak jarang, Usman menyaksikan bagaimana teman-temannya tersebut membantu Ali untuk masuk kelas, dengan menggeser meja, supaya Ali bisa masuk kelas dan menggunakan meja, dengan mudah.
“Luar biasa memang Ali anakku ini,” pikir Usman.
“Mengapa Ali bisa mengubah banyak orang dan keadaan di sekitarnya ya?” tanya Usman dalam hati.
Suatu subuh, selepas menunaikan salat Subuh berjamaah dengan istrinya, Annie, Usman yang telah selesai berdoa, mendapati Annie masih berdoa dengan khusyu’ sekali. Hal tersebut berlangsung selama 5 - 10 menit.
Setelah Annie selesai berdoa, Usman bertanya kepada istrinya itu. “Doa apa Bunda, kok lama sekali?”
“Semuanya kudoakan Yah, Bapak, Ibuk almarhum, almarhum Ayahmu, Ibumu, Mbah Putri, adik-adik Bapak dan saudara-saudaranya Ibuk, Ali dan Fatimah anak kita, Ayah, pokoknya semuanya kudoakan Yah.” jelas Annie pada Usman.
“Untuk Ali, aku selalu minta supaya Allah memudahkan jalan hidupnya, mendekatkannya dengan teman-teman yang baik padanya. Untuk Fatimah, aku doakan supaya bisa tertanggulangi semua gangguan dan hambatan yang dimilikinya. Untuk Ayah, aku doakan supaya dilancarkan rezekinya, dijaga kehormatannya oleh Allah SWT.” ucap Annie menjelaskan poin-poin doa sehabis salatnya kepada Usman.
Hal ini membuat Usman berpikir, dan kemudian tiba-tiba menyadari sesuatu. Usman kemudian langsung menyampaikannya kepada istrinya tersebut.
“Aku sudah tahu Bunda, apa yang membuat Ali bisa mengubah dunia.”
“Memangnya apa Yah, yang membuat Ali bisa melakukan itu?” tanya Annie kepada suaminya.
“Doa Bunda lah, yang membuat Ali bisa mengubah orang-orang dan keadaan di sekitarnya. Aku pernah baca, Bunda, bahwa segala kemudahan yang dialami seorang anak, itu adalah karena Tuhan mengabulkan doa ibunya. Doa perempuan itu biasanya akan didengar oleh Tuhan, khususnya doa seorang ibu, anak perempuan, dan seorang istri.” jawab Ali kepada istrinya.
“Sebenarnya ajaran Pak Jenggot, bahwa hal yang terpenting adalah mengubah dunia, seharusnya ditambah poin berikutnya, yaitu syarat utama untuk mengubah dunia, adalah doa seorang perempuan terhadap orang atau pelaku perubahan. “ ucap Usman menjelaskan pandangannya kepada Annie.
“Betul juga ya Yah, ternyata doa perempuan itu dahsyat juga efeknya.” ucap Annie menanggapi.
“Iya Bunda, betul sekali, bahkan tidak hanya doa untuk kebaikan, perempuan-perempuan teraniaya atau yang keluarganya teraniaya, biasanya juga akan dikabulkan doanya oleh Tuhan.” ucap Usman.
“Kejatuhan para penguasa zalim, dalam sejarah, biasanya tak lepas dari doa perempuan yang dizalimi atau yang keluarganya dizalimi oleh para penguasa tersebut.”
Setelah menjelaskan panjang lebar, Usman dan Annie pun terdiam seribu bahasa, larut dalam pikiran mereka masing-masing. Suara tukang roti keliling, kemudian menyadarkan mereka dari lamunan. Usman lalu bangkit dari duduknya, mengambil dompet dari tasnya. Selanjutnya, ia bergegas keluar rumah, dan memanggil tukang roti keliling tersebut, dengan setengah berteriak, “Roti, roti, mau beli roti!”
“Roti rasa apa saja Pak?” tanya tukang roti itu kepada Usman.
“Roti kelapa dua, nanas dua, coklat satu” jawab Usman singkat. Ia ingat sekali bahwa Fatimah sangat suka roti isi kelapa, sementara Ali suka roti nanas dan coklat.
Setelah membayar roti-roti tersebut, Usman kemudian pergi ke kamar Ali, yang ingin buang air kecil. Ia lalu mengambil pispot untuk membantu Ali buang air kecil. Setelah selesai buang air kecil, Ali kemudian tidur kembali. Tadi malam, Ali minta dibangunkan jam 11 siang, karena jam 13.00 WIB atau jam 1 siang, ia berencana untuk bertemu Janet dan Nicole, kedua teman akrabnya, untuk belajar dan bermain bersama.
Usman kemudian pergi ke luar rumah, setelah berpamitan pada Annie. Ia berencana untuk membeli sarapan untuk dirinya dan Annie, yaitu gorengan panas, tempe, bakwan, dan tahu isi di tukang lotek langganannya.