[CERPEN] Pesanan Ayam Geprek di Tengah Amarah Kota

- Jalan Sudirman macet total karena ribuan orang memenuhi aspal dengan spanduk, teriakan, dan wajah penuh amarah.
- Aplikasi ojol di layar HP terus berdering, mengingatkanku ada satu pesanan ayam geprek yang harus segera kuantar.
- Aku harus menuntaskan pekerjaanku, sekalipun itu berarti menelan semua kemarahan pada negara yang membuatku selalu terjebak antara perut yang lapar dan suara yang ingin kudengar.
Jakarta sore itu mendidih. Jalan Sudirman macet total, bukan karena jam pulang kantor, tapi karena ribuan orang memenuhi aspal dengan spanduk, teriakan, dan wajah penuh amarah. Aku berhenti di antara kerumunan, motor bututku terjepit di lautan manusia. Aplikasi ojol di layar HP terus berdering, mengingatkanku ada satu pesanan ayam geprek yang harus segera kuantar.
Tanganku gemetar di setang. Di satu sisi, ada pelanggan yang menunggu makanannya, mungkin sudah lapar sejak siang. Di sisi lain, di depan mataku, ada lautan orang yang bersuara lantang menuntut keadilan. Aku pun ingin ikut bersuara. Aku pun ingin marah. Negara ini sudah terlalu lama bikin rakyat kecil kayak aku cuma bisa pasrah. Harga bensin naik, tarif ojol tak sebanding dengan keringat, sementara pejabat sibuk memperkaya diri. Rasanya, kenapa aku harus mengantar ayam geprek sementara negara ini sendiri busuk sampai ke akar?
Motor-motor lain ada yang memaksa jalan, ada yang pasrah matiin mesin. Aku menatap spanduk bertuliskan "Turunkan rezim busuk!" dan hatiku langsung meletup. Aku ingin bergabung. Tapi kemudian aku teringat: kalau aku ikut teriak-teriak di barisan, aku bakal kehilangan orderan. Kalau aku kehilangan orderan, dapurku malam ini nggak ada api.
Di layar HP, notifikasi pelanggan muncul lagi: “Kak, lama banget ya?”
Aku menghela napas. Rasanya ingin kubalas: “Negaramu lagi kacau, Bang. Harusnya kita sama-sama marah, bukan cuma nunggu ayam geprek.”
Tapi jari-jariku akhirnya mengetik kalimat lain: “Maaf kak, saya terjebak demo. Mohon bersabar ya.”
Cuma itu yang bisa kukirim, padahal amarahku mendidih.
Aku menutup chat dan menatap kerumunan yang terus berteriak di depan. Hatiku ingin bergabung, tapi tanganku malah menggenggam erat setang motor. Tidak ada pilihan lain. Aku harus menuntaskan pekerjaanku, sekalipun itu berarti menelan semua kemarahan pada negara yang membuatku selalu terjebak antara perut yang lapar dan suara yang ingin kudengar.
Motor kugerakkan perlahan menembus celah-celah orang. Dari kaca spion, kulihat wajah-wajah yang masih bertahan, meneriakkan kebenaran dengan suara serak. Sementara aku memilih jalan berbeda, jalan yang dipenuhi pesanan, ongkos tipis, dan ancaman bintang satu dari pelanggan.
Ironis, di tengah ribuan rakyat yang turun ke jalan, aku hanya bisa sibuk menjaga rating aplikasi. Malam ini aku pulang dengan uang recehan, sementara di televisi mungkin para pejabat lagi tersenyum di meja makan, mengangkat gelas, menikmati daging impor, sambil berkata: “Negara baik-baik saja.”
Jakarta terbakar amarah, tapi tugasku tetap sama: mengantar ayam geprek.