Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kopi (pexels.com/cottonbro studio)

Pada pagi itu, Dimas terbangun dengan perasaan yang berat, seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya, meski tak tampak kasat mata. Sejak Ayahnya pergi, tidur tak lagi menenangkan. Setiap malam, wajah Ayah sering muncul dalam mimpinya—senyumnya yang hangat, tawa yang khas, dan genggaman tangannya di bahu Dimas, seolah ingin mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Namun kenyataannya, setelah kepergian Ayah, hidup Dimas terasa hampa. Kehilangan sosok Ayah terasa seperti kehilangan sebagian besar dari dirinya. Setiap pagi, ia bangun dengan perasaan rindu, berharap bisa menyapa Ayah yang dulu selalu duduk di meja makan dengan secangkir kopi hitam pekat dalam cangkir biru tuanya. Sekarang, cangkir itu hanya tergeletak di dapur, berdebu dan tak lagi digunakan.

Dengan langkah gontai, Dimas menuju dapur dan melihat cangkir biru tua itu—cangkir yang setiap pagi dipakai Ayahnya. Dulu cangkir itu terlihat biasa saja, tetapi kini menjadi benda yang sangat berharga bagi Dimas. Saat menatapnya, ia bisa membayangkan sosok Ayah yang dulu begitu nyata.

Tangannya perlahan mengambil cangkir tersebut dan menyentuh tepinya yang kini terasa dingin. Dimas berharap masih ada aroma kopi tersisa di sana, seolah ingin menghidupkan kembali kehadiran Ayah. Namun, cangkir itu kosong, seperti hatinya yang terasa kosong sejak Ayah pergi.

Editorial Team

Tonton lebih seru di