Pada tahun 2025, Samuel membuka kembali buku harian lusuh miliknya, yang ditemukannya di gudang, di bawah tumpukan buku. Begini isinya:
Bahwa tadi adalah pengobat kerinduan yang sungguh mendalam dariku padanya. Setiap kali kami berjumpa, biasanya ia selalu dengan suara lembut mengajakku bicara, walaupun aku membisu sekalipun. Entah apa yang diharapkannya dariku. Ia mengenakan t-shirt abu-abu dengan tulisan di bagian depan.
Apakah aku berahi padanya? Entahlah. Aku hanya melihatnya dalam rasa sayang, dan ia pun begitu; rasa sayangnya padaku kurasakan walaupun tentu tidak bisa dijelaskan seperti apa rasa sayang itu. Mungkin karena tadi aku memberi sumbangan pada perkumpulannya, atau mungkin karena aku orang yang akan diajak pada acara besok (yang aku sendiri masih belum jelas, entah datang atau tidak).
Entah berapa lusin intrik yang didengarnya dan didapatnya dari mereka-mereka yang terisolir itu. Mereka yang biasanya tidak pernah belajar dari kesalahan. Ingin… ah, aku tidak bisa melanjutkannya. Aku masih setia pada Revolusi. Mungkin saat ini baru mereka yang bisa disebut dan dikategorikan sebagai revolusioner. Walaupun banyak yang mengaku—“aku revolusioner”—tapi tanpa program konkret revolusi, itu hanyalah jargon kekiri-kirian.
“Revolusi butuh perebutan dan penghancuran sekaligus mesin Negara,” begitu kata si Vladimir yang sudah lama mati.
Butuh suatu perspektif untuk merebut dan menghancurkan mesin Negara lama. Jika itu tidak dilakukan, maka itu hanyalah sekadar “impian” anarkis dan nyanyian para humanis serta slogan para oportunis.
Ah, kenapa aku jadi bercerita panjang tentang revolusi. Revolusi yang hanya dalam pikiran hanya bikin tidur tidak enak.
Yah, dialah yang kuinginkan untuk menjadi orang terdekatku, layaknya Vladimir menghendaki Nadeshda Krupskaya ataupun Inessa Armand. Ini bukan permasalahan seks belaka, tapi persoalan hati.
Kehidupan zaman reaksi hanya bisa dilalui apabila—ini kalau kita sedang tidak berada di garis perjuangan revolusioner—kita melupakan semua keinginan dan hanya berusaha sekadar berusaha.
Setahun yang lalu, tepatnya, aku mengenal dirinya. Saat itu aku sedang berada di suatu ruangan dan ia datang. Awalnya kami tidak saling tahu dan tidak peduli. Tapi semuanya berbalik seratus delapan puluh derajat beberapa minggu kemudian. Entah sejak kapan, aku selalu merasa bahwa aku harus menjaganya, dan suatu perasaan kehilangan datang ketika ia tidak berada dalam pandanganku.
Kami sering melewatkan malam bersama, penuh hujan dan kabut yang dingin, sambil ngobrol berdua.
“Sebenarnya arah semua ini mau ke mana, Sam?” tanyanya suatu kali.
“Yah, kita akan melakukan suatu perubahan yang mendasar,” jawabku.
“Tapi… kita bukan komunis kan?”
“Terserah, tapi tidak ada paksaan apakah kau mau komunis atau tidak. Yang jelas, kalau kau setuju bahwa penindasan harus dihapuskan, maka kau berada dalam satu barisan dengan kita,” jelasku, yang membuatnya terdiam dan manggut-manggut.
“Kenapa memangnya?” tanyaku balik.
“Ah nggak, aku cuma takut kalau arah gerakan kita adalah komunisme.”
“Apa yang kau ketahui tentang komunisme?” tanyaku sekali lagi. Ia pun kembali berpikir, menyibak rambut panjangnya yang lurus tergerai.
Lama ia membisu, diam, tidak tahu apa yang akan dikatakan. Sampai akhirnya:
“Yang kutahu dari film-film, pelajaran sekolah, dan cerita orang-orang, bahwa komunis itu tidak manusiawi, anti-Tuhan, dan kejam, sadis!”
“Kalau begitu, kau belum tahu apa itu komunis sebenarnya.”
“Kenapa bisa begitu?” tanyanya tidak mengerti.
“Itu hanyalah propaganda hitam penguasa terhadap komunisme. Perkara apakah komunis itu sadis atau anti-Tuhan, apakah kau sudah mengalami atau membaca literatur yang dibuat oleh kaum komunis sendiri?”
“Belum, memangnya komunis gimana sih?” tanyanya dengan rasa ingin tahu.
“Aku sendiri juga belum pernah mengalami apa itu komunis dan apa itu komunisme, tapi sejauh dari yang kubaca, yang dituliskan bukan pemikiran ateisme, melainkan hanyalah kritik terhadap agama Katolik dan Kristen pada abad pertengahan.”
Ia masih terlihat diam, menunggu penjelasanku lebih lanjut.
“Komunis, menurut Marx, adalah suatu bentuk masyarakat yang berpola “from each according to his ability, to each according to his needs,” yang berarti mengambil dari setiap orang sesuai kemampuannya dan memberi pada setiap orang sesuai kebutuhannya. Ini terjadi ketika kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah hilang, dan Negara sebagai institusi penindas telah hilang atau melenyap dengan sendirinya sebagai ekses dari revolusi. Itu kata Pak Jenggot, lho. Entahlah apakah akan terwujud masyarakat tanpa penindasan dan tanpa kelas tersebut. Yang jelas, ia bertolak dari analisa bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas: kelas penindas dan tertindas, yang melakukan perjuangan kelas untuk mempertahankan kehidupannya.”
Ia masih kebingungan dengan penjelasanku. Aku sendiri juga bingung mau menjelaskan seperti apa lagi. Diam yang panjang datang kemudian, menenggelamkan kami ke dalam kebisuan, saling mereka-reka perasaan dan hati masing-masing.
Hujan datang lagi, menambah dinginnya malam, dan kami beranjak masuk ke dalam ruangan berlampu jingga untuk menghangatkan badan masing-masing. Ia masih tetap tersenyum simpul, kelihatan ramah dan malu-malu.
Orang lain mungkin tidak akan menyia-nyiakan saat itu; suatu rengkuhan dan pelukan berlanjut dengan percintaan berikutnya tentu akan mereka lakukan, apalagi malam semakin dingin.
Aku mencoba mengubur dalam-dalam imajinasi “liar” ini. Kucoba bersikap biasa, walaupun aku sendiri tanpa sadar bergerak ke sana-kemari, masuk dan keluar ruangan, menghilangkan semua pikiran bejat itu.
Ketika hujan berhenti, kuantar dia pulang ke rumahnya dengan perasaan lega. Butiran-butiran hujan menerpa wajahku dalam perjalanan pulang. Basah sekujur tubuh, tapi bahagia; serasa ada beban yang terlepas dari pundak. Kemudian suatu perasaan rindu datang, padahal belum lama aku berpisah dengannya.
Sudah lama aku tahu, bahwa hatinya bukan untukku; hatinya telah tertambat pada pemuda pemalu itu. Aku hanya bisa menahan kegetiran, merasa kalah padahal belum tentu aku kalah. Aku jadi sering berkaca, membandingkan diriku dengan si pemuda itu, dan lagi-lagi merasa rendah diri melihat wajahku yang kotor, rambutku yang acak-acakan, dan posturku yang tidak seimbang.
Minggu-minggu berikutnya, aktivitas sangat padat. Insureksi terhadap rezim hampir tiap hari dilakukan, ujungnya adalah penyerangan sekelompok preman bersenjata tajam terhadap aksi massa di dekat Pasar Bering Harjo. Kocar-kacir, lari menyelamatkan diri, seorang yang wajahnya tak jelas, beringas, berusaha menghajar wajahku dengan sepotong besi. Tanganku membentur besi itu; awalnya tidak sakit, aku tetap lari, meninggalkan sandal, dan perempuan itu tidak kulihat. Aku lari dan lari! Tangisan, kacau, darah, air mata, peluh, lumpur—semuanya lari menyelamatkan diri.
Setelah senja datang, barulah kuketahui kalau ia hampir diperkosa oleh para preman itu. Sepotong tongkat kayu diarahkan ujungnya oleh salah seorang preman ke kemaluannya. Kakaknya mencoba menyelamatkan dengan melindungi tubuh perempuan itu dengan tubuhnya.
Mungkin ia kecewa, entah pada diriku atau pemuda tambatan hatinya, yang sama sekali tidak berusaha menyelamatkan dirinya. Apa mau dikata, itu sudah terjadi; satu peristiwa tidak akan terulang lagi. Tapi aku bertekad, bahwa jika ada bentrokan lagi, aku rela mati untuk menyelamatkan dirinya, tidak peduli apakah ia masih menambatkan hatinya pada pemuda itu atau tidak.
Five to one, baby
One in five
No one’s here gets out alive now
You get yours, baby, I get mine
Gonna make it, baby, if we try
They got a gun while we got the numbers
[Lagu The Doors, berjudul Five to One, tentang aksi kaum hippies.]
Sejak hari itu, kami jadi lebih sering berduaan. Selalu ia berada dalam boncengan, sementara aku di depan mengendarai motor. Tidak peduli—sekali lagi—apakah ia mencintaiku atau tidak.
Malam dengan lampu temaram, kami berbincang berdua, menahan hati, mencoba mengendalikan perasaan masing-masing. Yang kuingat, ia selalu tersipu bila ku menggodanya. Kadang aku malu sendiri dengan tindakanku yang mencampuradukkan perjuangan dengan percintaan.
23 Februari 2003, hari disahkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang memuat pasal-pasal merugikan kaum buruh, yaitu pengusaha tidak perlu minta izin terlebih dahulu untuk mem-PHK-kan buruhnya; pengusaha boleh tidak membayar upah selama pemogokan buruh; pemogokan yang diatur hanya untuk masalah pabrik, sehingga pemogokan untuk menolak peraturan pemerintah dianggap ilegal dan dikenakan ancaman pidana, dsb.
Sebelumnya, dengan sekitar seribu orang, kami telah mencoba melakukan aksi massa di depan Istana Merdeka Jakarta, menjelaskan bahwa perang imperialis harus ditolak (agresi militer terhadap Irak oleh Amerika) dan Mega-Hamzah adalah tak lebih dari boneka imperialis. Tidak terjadi apa-apa; serangan bahkan bentrokan aman terkendali.
Tapi hari ini, dengan jumlah peserta yang sedikit, settingan adalah menjebol pagar gedung MPR-DPR. Aku kembali jadi barisan DARWIS (Modar Yo Wis [Bahasa Jawa: Mati Ya Udah]). Berbaris paling depan, perjalanan ke gedung MPR bagiku seperti perjalanan ke tiang gantungan. Rasanya sudah tahu bahwa ajalku sudah tiba.
Sesampai di sana, barisan bendera mengguncang pagar yang sudah dirantai dan digrendel baja. Sebuah meriam air berada di balik pagar, sewaktu-waktu siap ditembakkan pada peserta aksi, yang berisikan air gatal, air comberan.
Benar dugaanku. Ketika rantai baja putus, batu-batu berterbangan dari dalam halaman gedung, meriam air ditembakkan, dan pasukan anti-huru-hara dengan tameng dan tongkat pemukul keluar menerjang. Bentrokan tak terhindarkan. Seribu orang melarikan diri serampangan. Kucari dia sambil berlari dan kutemukan dirinya hampir terlindas mereka yang berlari membabi buta. Kubimbing dia, kutarik dengan lari yang semakin kupercepat. Hingga sampai di pinggiran yang aman, kakaknya telah menanti.
“Sana, pergi dengan kakakmu.”
“Kau mau ke mana, Sam?” tanyanya dengan napas memburu.
“Aku mau balik ke sana.”
Aku datang lagi ke kota Yogyakarta dengan rasa rendah diri yang mendalam, kembali mengulang kesalahan, terlena dalam overdosis yang hampir merenggut nyawa. Untung saja hidupku tidak berakhir di sel penjara, di balik terali besi yang dingin, jauh dari manusia yang dianggap baik oleh masyarakat.
Tak pernah kuketahui kabarnya, tak pernah kucoba menghubungi dia. Aku hanyut dalam diri sendiri, yang sebagian kesadarannya telah hilang ditelan kegilaan dan depresi. Sampai suatu hari, sebuah SMS datang menanyakan kabarku dan di mana aku berada sekarang. SMS itu berasal dari perempuan itu, yang membuatku kembali ditelan rasa malu.
Aku bukan lagi seorang pemberontak yang teguh, tak terluluhkan oleh tongkat ataupun popor senapan. Aku sekarang adalah seorang pecundang—kembali—yang hanya memikirkan diri sendiri. Kami janjian untuk bertemu di warung makan esoknya.
Rasa malu kembali datang ketika aku berhadapan, melihat sosoknya yang duduk di balik meja beralaskan plastik itu. Tanpa menyapa, kududuk di depannya. Ia hanya tersenyum lembut, seperti biasanya ketika berhadapan denganku.
“Gimana kabarmu?” tanyanya.
“Baik,” jawabku singkat. “Kau sendiri bagaimana?” tanyaku balik.
“Baik juga.”
Ia ternyata masih tetap bertahan di garis perjuangan penghabisan. Entah apa yang dicarinya dari kehidupan yang gersang itu. Sekarang ia menjadi seorang pemberontak yang teguh dan tak terluluhkan, tidak seperti kehidupannya sebelumnya sebagai perempuan Jawa biasa, yang hanya mengurus kecantikan dan percintaan. Ia berbeda dari itu semua. Dan aku bertambah malu, sehingga tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ingin kugenggam lagi tangannya seperti dulu dan kutatap matanya, beradu pandang, tapi aku sudah tidak sebanding harganya lagi dengan perempuan pejuang ini.
Hidup bagiku saat ini adalah bagaimana mempertahankannya, karena perubahan hidup ini belum tentu, dan kecil kemungkinannya, untuk bisa diubah. Para penindas terlalu kuat, sementara para pemberontak terpecah belah dalam sentimen, ego, keangkuhan sendiri-sendiri. Hanya berbicara bagaimana kelompoknya bisa mendapat sekian orang untuk dijadikan massa mereka.
Melupakan pemberontakan yang tidak melulu berorientasi pada massa belaka, tapi juga bagaimana merebut dan menghancurkan mesin Negara yang sudah usang ini.
Mungkin perempuan ini bisa melakukannya; semoga ia tidak terhanyut dalam konflik yang tidak bermanfaat dari manusia-manusia yang mengaku “revolusioner.”
Samuel menutup kembali buku hariannya itu, dengan senyum lebar, menyadari bahwa itu sudah lama sekali. Ia telah menikahi Anne, pada tahun 2005, dan tahun ini usia pernikahan mereka genap 20 tahun. Ia sudah bukan seorang revolusioner lagi, melainkan hanya seorang ayah dan suami, yang mencoba bertahan di bawah sistem kapitalisme, dengan segala kebahagiaan dan tantangannya.