Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi jam dinding
ilustrasi jam dinding (pexels.com/Rubidium Beach)

Jam dinding tua itu selalu menggantung di ruang tamu sejak aku kecil. Jarumnya berwarna hitam kusam, dan setiap kali berdetak, suaranya lebih nyaring daripada jam lain. Anehnya, setelah ibu meninggal, aku mulai memperhatikan hal aneh; jarumnya berjalan mundur, detik demi detik, seakan menolak waktu yang seharusnya maju.

Awalnya kupikir hanya ilusi. Tapi ketika aku duduk sendirian di ruang tamu, aku melihat jam itu benar-benar menunjukkan pukul enam sore, lalu bergeser ke pukul lima, bukan tujuh. Aku mencoba mengganti baterai, bahkan membawanya ke tukang jam. Aneh, menurut tukang itu, mesin jamnya normal, tidak ada kerusakan sama sekali.

Malam itu aku bermimpi bertemu ibu. Ia duduk di kursi ruang tamu, tersenyum, lalu berkata, “Waktu tidak selalu maju, Nak. Kadang ia memberimu kesempatan kembali.” Aku terbangun dengan jantung berdegup, keringat dingin membasahi tubuh. Saat kulihat jam di dinding, jarumnya sudah menunjukkan pukul dua pagi, padahal aku baru tidur pukul lima.

Keesokan harinya, sesuatu lebih aneh terjadi. Aku terlambat berangkat kerja, tapi setibanya di kantor, semua orang menatapku heran. “Kenapa datang terlalu pagi?” kata rekan kerjaku. Di layar ponselku, tertulis jam tujuh, tapi di jam kantor baru pukul lima. Aku sadar, jam di rumahku bukan hanya mundur, tapi juga menyeretku kembali ke masa lalu.

Aku mulai mencoba. Setiap malam, aku duduk di ruang tamu menatap jam itu. Jarumnya bergerak mundur, dan tiba-tiba aku kembali ke momen sehari sebelumnya. Aku bisa memperbaiki kesalahan kecil—mengingatkan bos soal dokumen, mencegah gelas pecah, bahkan meminta maaf pada adikku sebelum bertengkar. Rasanya seperti memiliki kekuatan yang tak ternilai.

Namun, semakin sering aku melakukannya, semakin jauh aku mundur. Aku kembali ke masa remaja, lalu masa kanak-kanak. Anehnya, aku tetap membawa kesadaran dewasa dalam tubuh kecilku. Pada awalnya menyenangkan—aku bisa memeluk ibu lebih lama, mendengar suaranya lagi. Tapi ada perasaan menekan yang sulit dijelaskan, seakan jam itu menuntut bayaran.

Hingga suatu hari, aku terbangun bukan di rumahku, melainkan di ruang tamu asing. Jam yang sama tergantung di dinding, berdetak mundur dengan suara lebih keras. Di kursi kayu, seorang pria tua menatapku dengan mata yang sama seperti mataku. Ia tersenyum getir, lalu berkata, “Akhirnya kau sampai juga. Aku adalah dirimu… yang terlalu jauh mundur hingga tak bisa kembali.”

Aku menjerit, tapi suara detik jam menenggelamkan segalanya. Jarum terus bergerak mundur, dan aku tahu, aku akan segera hilang—menjadi kenangan yang tak pernah lahir.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team