Aku masih ingat, kunci itu kutemukan di saku jas peninggalan ayah, tiga hari setelah pemakamannya. Bentuknya tua, berkarat, tapi berat seolah menyimpan cerita. Tidak ada catatan, tidak ada penjelasan—hanya sebuah kunci yang seakan menunggu untuk diputar di sebuah pintu.
Rasa penasaranku membawaku berkeliling kota. Anehnya, setiap kali melihat rumah tua dengan cat terkelupas, ada bisikan dalam diriku: “Cobalah.” Setelah berhari-hari mencoba tanpa hasil, aku nyaris menyerah, hingga suatu sore hujan deras menuntunku ke sebuah gang sempit. Di ujungnya ada rumah kecil yang terlihat ditinggalkan.
Dengan jantung berdegup, aku memasukkan kunci itu ke lubang pintu. Ajaibnya, kunci itu berputar dengan mulus. Pintu terbuka, menampakkan ruangan berdebu penuh bingkai foto keluargaku, foto yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ada wajah ibuku tersenyum, ayah muda memeluk seorang bayi… tapi bayi itu bukan aku.
Aku gemetar. Di meja ruang tamu, ada amplop berisi akta kelahiran. Namaku tercantum di sana, tapi dengan catatan: “anak adopsi.” Aku terdiam, kunci ini bukan sekadar warisan, melainkan jalan menuju kebenaran yang disembunyikan.
Dan di saat itulah, aku mendengar suara pintu belakang berderit. Seseorang masuk. Lelaki tua dengan wajah mirip ayahku, hanya lebih lelah dan rapuh. Ia menatapku, lalu berbisik pelan, “Akhirnya kau menemukan rumah yang seharusnya jadi milikmu.”