Negeri Aethel adalah negeri yang diam. Selama berabad-abad, salju turun tanpa henti, menyelimuti lembah, hutan, dan menara-menara kota dalam balutan putih yang abadi. Di sana, salju bukan sekadar cuaca; ia adalah jiwa, sejarah, dan nafas. Konon, salju akan berhenti hanya jika Sang Penjaga, orang terakhir yang ingat lagu pengantar salju pertama, melupakan nadanya.
Elara, gadis muda dengan mata sebiru danau beku, adalah Penjaga yang sekarang. Kakeknya, Penjaga sebelumnya, telah menitipkan lagu itu ke dalam ingatannya sebelum matanya terpejam untuk selamanya. Lagu itu hidup dalam denyut nadinya, dalam setiap helaan napasnya yang berubah menjadi kabut putih. Tugasnya sederhana namun dahsyat: mengingat, agar salju tak pernah padam.
Namun, sesuatu mulai salah.
Salju tak lagi turun lembut. Kini ia jatuh sebagai badai ganas yang menggigit, merobek atap rumah, dan membekukan sungai hingga ke dasarnya. Orang-orang mulai bersungut-sungut. Mereka, yang dulu memandang Elara dengan hormat, kini meliriknya dengan curiga. "Dia terlalu muda," bisik mereka. "Lagunya salah. Dia telah membawa kutukan, bukan berkat."
Elara merasakan bisikan itu lebih tajam dari tusukan es. Keraguan mulai menggerogoti hatinya. Apakah nadanya memang telah melenceng? Apakah ingatannya mulai memudar? Setiap kali ia mencoba bersenandung, angin hanya meraung lebih kencang, seakan mengejek keputusasaannya.
Pada suatu malam ketika badai mengamuk paling hebat, Elara melarikan diri dari menaranya. Ia menyusuri jalanan kota yang sepi, tubuhnya menggigil bukan karena hawa dingin, tapi karena rasa kesepian yang lebih beku dari es manapun. Ia duduk di sebuah bangku di taman kota, tertimbun salju, menatap tangan kosongnya. Ia siap menyerah. Mungkin lebih baik salju itu padam, dan negeri ini menemui takdir barunya.
Tiba-tiba, sebuah suara yang tenang dan dalam, seperti gemeresik salju yang diinjak perlahan, terdengar.
"Lagu itu bukan untuk dikendalikan, Nak. Tapi untuk didengarkan."
Elara menoleh. Seorang lelaki tua dengan jubah lusuh dan wajah yang diukir oleh waktu duduk di sampingnya. Di tangannya, ia memegang seruling es yang sederhana.
"Siapa Anda?" tanya Elara, suaranya parau.
"Aku adalah Penjaga yang gagal," jawab lelaki itu dengan senyum getir. "Aku dulu sepertimu. Aku memaksakan lagu itu, ingin salju turun sempurna sesuai keinginanku. Akhirnya, yang tercipta adalah badai selama sepuluh tahun."
Elara tertegun. "Lalu, bagaimana caranya?"
"Kau ingat kenangan apa yang melekat pada lagu itu?" tanya lelaki tua itu, matanya berbinar bijaksana. "Bukan notnya. Tapi perasaannya. Kakekmu menyanyikannya untuk apa? Untuk siapa?"
Elara memejamkan mata. Ia berusaha mengingat. Bukan melodi kaku yang diajarkan, tapi suara kakeknya yang hangat, berbisik sambil menatapnya tidur. Ia ingat kakek menyanyikan lagu itu bukan untuk menjatuhkan salju, tapi untuk menenangkan hatinya yang gelisah setelah mimpi buruk. Ia ingat rasa aman, rasa dicintai.
Tanpa disadari, bibirnya bergetar. Ia tidak menyanyikan lagu itu. Ia hanya membisikkannya, seperti sebuah doa, sebuah kerinduan akan kedamaian yang ia rasakan di pelukan kakeknya.
Ajaibnya, badai yang mengamuk perlahan-lahan mereda. Raungan angin berubah menjadi desau lembut. Dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, kepingan salju yang lembut dan murni mulai berjatuhan dari langit, menari-nari di sekitar Elara dan lelaki tua itu, menyinari wajah mereka dengan cahaya bulan.
Elara membuka matanya. Air mata membeku di pipinya. Ia mengerti sekarang.
Ia menatap lelaki tua itu dengan penuh terima kasih, tetapi lelaki itu sudah berdiri. "Jagalah salju, Elara. Tapi jangan biarkan salju yang menjagamu. Kadang, keheningan dan kesepian adalah guru terbaik untuk mendengar suara hatimu sendiri."
Sebelum Elara sempat berkata apa-apa, lelaki tua itu berbalik dan berjalan menyusuri jalan setapak yang tertutup salju. Langkahnya ringan, dan tak lama kemudian, bayangannya menyatu dengan putihnya dunia, menghilang.
Esok paginya, Elara kembali ke menaranya dengan pandangan yang berbeda. Ia tidak lagi takut atau ragu. Ketika orang-orang datang dengan keluhan, ia tidak lagi memaksakan lagunya. Ia mendengarkan. Ia merasakan.
Salju tidak selamanya tentang badai dan kekuatan. Ia juga tentang kelembutan yang menutupi luka, tentang kesunyian yang memberi ruang untuk introspeksi, tentang kesabaran menunggu musim semi yang suatu hari pasti akan tiba, meski di Negeri Aethel, musim semi itu hanya ada dalam metafora.
Elara kini tahu, ia bukan sekadar Penjaga Salju. Ia adalah penerjemah keheningan. Dan di negeri yang diam itu, lagunya yang baru lahir adalah lagu tentang penerimaan, sebuah melodi yang lebih dalam dan lebih abadi dari salju itu sendiri. Langkahnya mungkin sendirian, tetapi setiap jejak yang ditinggalkannya di atas salju adalah bukti bahwa ia tidak akan berhenti, menemukan makna baru dalam setiap keping dingin yang jatuh dari langit.