[CERPEN] Perampok Waktu

Nuri tahu seandainya dia datang lebih cepat lima menit yang lalu, Pak Soni akan mengizinkan ia masuk ke kelas. Namun waktu tidak bisa diputar atau dilipat, yang terlewat harus direlakan minggat. Nuri menghela napas dan berjalan menuruni tangga. Pesan dari temannya yang di dalam kelas enggan ia baca.
Seandainya jalanan tidak merampok waktuku. Begitu yang ia pikirkan.
Ia sendiri sejujurnya benci dengan namanya terlambat. Setiap menit dan detik baginya amat berharga. Bagi seseorang yang setiap hari menempuh perjalanan dari rumah ke kampus, ia menegaskan pada diri sendiri kalau setiap waktu yang terlewat harus ada artinya. Tidak boleh ada kata sia-sia. Ketika sudah terlambat seperti ini, Nuri tidak akan berhenti mengutuk diri. Lima puluh empat menit yang telah ia habiskan di jalanan untuk berangkat ke kampus untuk menghadiri satu-satunya kelas di penghujung pekan. Lima puluh empat menit dirinya rela menembus kota dari ujung ke ujung, namun yang didapati adalah kekecewaan.
Dulu, Nuri ingat pamannya pernah bilang kalau suatu saat nanti jalanan akan merampok waktu dari hidupmu. Sebagian besar waktu yang ada di hidup kita akan dihabiskan di jalanan. Saat itu Nuri yang baru sepuluh tahun mengeluh karena mengira pamannya ingin ia meneruskan profesi menjadi seorang pedagang siomay, yang setiap hari menyusuri kota dari satu titik ke titik lain untuk berjualan. Nuri agak marah karena cita-citanya dulu selalu mau menjadi pekerja kantoran, bukan pedagang siomay. Ia ingin memakai baju bagus dan bekerja di perusahaan keren yang berkantor di gedung tinggi ternama. Jalanan adalah sesuatu yang akan ia tinggalkan di belakang. Nuri berkata kurang lebih begitu kepada pamannya, membuat laki-laki itu cengengesan saja.
Namun, demi Tuhan. Nuri yang sekarang baru menginjak bangku kuliah demi cita-citanya itu diam-diam membenarkan apa yang dikatakan pamannya dulu. Jalanan adalah perampok waktu. Dan ia harus berkompromi dengannya setiap kali mau pergi ke mana saja, salah satunya berangkat ke kampus. Ia memilih untuk tidak menyewa kos demi alasan menghemat, jadinya ia harus menempuh jalan sekian puluh menit dari rumah.
Kelas Pak Soni hari itu sebenarnya bisa dibilang cukup penting, hanya di kelas Pak Soni lah Nuri bisa mempelajari cabang ilmu linguistik dengan penjelasan yang tidak serumit dosen lain. Sayangnya Pak Soni juga orang yang mengedepankan disiplin.
“Tidak ada yang boleh terlambat di kelas saya ini,” kata Pak Soni di awal semester. “Belajarlah menghargai dan mengatur waktu.”
“Kalau ada yang rumahnya jauh Pak?” tanya salah seorang mahasiswa.
“Ya berarti kamu harus berangkat lebih awal dong, kok pakai ditanya,” jawab Pak Soni.
Tentu saja Nuri sangat setuju dengan perkataan Pak Soni. Saking setujunya, ia kini memikirkan apa yang harus ia lakukan supaya waktunya hari ini tidak terbuang untuk yang kedua kali.