[CERPEN] Penyesalan Marsani

Pilihan berat ada di hadapannya. Seorang ibu berbadan tambun dengan leher dan tangan dipenuhi perhiasan, yang duduk tiga kursi di depannya, akan menjadi korban pertamanya.
Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia belum bisa menguasai ketakutannya untuk melakukan hal yang baru dicobanya ini. Sempat beberapa kali ia hendak mengurungkan niatnya, tetapi lagi-lagi bayangan nasib adiknya, Mulyadi, yang terancam tak dapat melanjutkan sekolahnya hanya karena tak bisa melunasi iuran sekolah mengusiknya. Ia tak mau nasib yang dialaminya juga dialami adiknya: putus sekolah dan terkatung-katung hidup sebagai pengamen jalanan.
“Jangan ngelakuin yang macam-macam, Mar!” Di telinganya masih terngiang pesan Emak pagi tadi, sesaat sebelum ia berangkat, tetapi ditepisnya.
“Maafin Mar, Mak,” ia membatin. Ia membulatkan tekad.