Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi seorang pria yang sedang jalan pada malam hari
ilustrasi seorang pria yang sedang jalan pada malam hari (pexels.com/Julien)

Malam itu, Aruna menyusuri jalan kecil di pinggiran kota. Jalan itu sunyi, hanya diterangi lampu jalan yang redup dan suara gesekan dedaunan. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya—kehidupan terasa berat dan semua rencana masa depannya seolah runtuh begitu saja. Ia tidak tahu harus pulang dengan wajah seperti apa.

Tiba-tiba terdengar suara pelan, seperti gumaman seseorang. Aruna berhenti. Di bangku tua dekat pohon besar, duduk seorang kakek dengan jas lusuh dan payung tua di sampingnya. “Hujan sebentar lagi,” kata si kakek tanpa menoleh, seolah tahu Aruna sedang berdiri di belakangnya. Padahal langit terlihat tenang.

Aruna mendekat dengan ragu. “Kenapa Kakek duduk sendirian di sini?” tanyanya. Si kakek tersenyum samar. “Kadang kesepian adalah tempat terbaik untuk mendengar suara hidup. Kamu juga mendengarnya, kan?” Suara itu membuat bulu kuduknya meremang—antara heran dan takut.

Mereka duduk berdampingan tanpa banyak kata. Hening. Lalu kakek itu bicara lagi, “Hidup punya cara aneh untuk berbicara. Bukan lewat kemewahan, tapi lewat kehilangan. Kamu kehilangan sesuatu hari ini, bukan?” Aruna tertegun. Ia belum bercerita apapun, tapi kakek itu seperti tahu segalanya.

“Dunia ini nggak suka orang yang berhenti. Tapi ia sangat menyukai orang yang berani bertahan,” lanjut si kakek sambil menatap jauh ke jalanan gelap di depannya. “Hidup kadang sepi… supaya kita bisa mendengar langkah kita sendiri.”

Tiba-tiba langit mulai gerimis. Kakek itu membuka payung tuanya, lalu menawarkannya pada Aruna. “Kamu butuh ini lebih dari saya,” katanya sambil berdiri perlahan. Aruna ingin menolak, tapi kakek itu hanya tersenyum dan melangkah ke arah bayangan pepohonan… lalu menghilang begitu saja.

Aruna mematung. Tidak ada suara langkah, tidak ada jejak basah di jalan. Hanya payung tua yang kini berada di tangannya. Ia merasa jantungnya berdetak kencang, tapi entah kenapa… ada kehangatan aneh yang menyusup ke dadanya.

Esok paginya, ia melewati jalan yang sama. Bangku tempat kakek itu duduk kosong, bahkan sedikit lapuk seakan sudah lama tak dipakai. Aruna memandang langit, lalu tersenyum kecil. Ia belum tahu bagaimana hidupnya akan berjalan, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan berhenti melangkah.

Di dalam hatinya, suara itu seperti bergema lagi—suara kakek misterius itu: “Hidup tidak selalu terang, tapi langkahmu bisa jadi cahaya kecilnya.”

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAtqo Sy