Pagi itu, tubuh Arman terasa remuk. Ia terbangun dengan kepala berdenyut, hidung tersumbat, dan tenggorokan yang perih seperti tersayat. Flu datang tanpa peringatan, menyeretnya ke dalam hari yang terasa lebih panjang dari biasanya.
Arman menatap langit-langit kamar dengan mata berat. Di sudut ruangan, kipas angin berputar pelan, membuat udara dingin menusuk kulitnya. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tapi gravitasi menang. Akhirnya, ia hanya bersandar, memandang cangkir kopi di meja yang tak sempat ia habiskan semalam.
Rumahnya sunyi, seperti biasanya. Beberapa teman sempat bertanya kenapa ia jarang pulang ke rumah ibunya. Arman selalu menghindar menjawab. Ia tahu, hubungan mereka sudah lama retak. Bukan karena pertengkaran besar, tapi karena jarak yang perlahan tumbuh tanpa disadari. Tak ada lagi percakapan hangat, hanya basa-basi yang terasa hambar.
Saat sakit seperti ini, ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Tak ada yang akan mengetuk pintu dengan sup hangat atau obat flu. Itu sudah biasa, dan Arman tak lagi memikirkannya terlalu dalam.
Ia menyeret tubuhnya yang berat menuju dapur. Air panas mendidih di atas kompor, cukup untuk membuat teh dan mungkin mie instan. Itu menu hari ini, seperti biasanya.
Waktu berjalan lambat. Kembali ke tempat tidur, Arman membuka ponselnya. Pesan dari kantor masuk, menanyakan laporan yang belum ia selesaikan. Tapi ia hanya menatap layar tanpa balas. Dunia luar terasa terlalu jauh hari ini, terlalu dingin seperti tubuhnya yang menggigil.
Namun, meski sendirian, Arman menolak merasa lemah. Ia menyibukkan diri dengan hal-hal kecil. Membuat daftar belanja, mencoba membaca buku yang tak pernah selesai, atau sekadar mendengarkan lagu dari daftar putar lama.
Malam tiba, dan hujan turun di luar. Arman memandang ke luar jendela. Dalam kesunyian itu, ia menemukan sesuatu yang menenangkan. Hujan membawa kenangan masa kecil—saat ibunya masih sering membawakan sup hangat ketika ia sakit. Dulu, kehadiran ibunya adalah segalanya. Tapi kini, mereka seperti dua orang asing.
Arman menarik napas panjang. Ia tahu, ada hal-hal yang tak bisa diubah. Tapi bukan berarti ia harus menyerah pada keadaan. Mungkin hidupnya tak sempurna, tapi ia masih punya dirinya sendiri untuk diandalkan.
Ia menyelimuti tubuhnya, membiarkan rasa kantuk perlahan mengambil alih. Dalam diam, Arman tersenyum kecil.
“Mungkin nggak apa-apa sakit sendirian,” bisiknya.
Esok, flu ini mungkin masih ada, tapi ia tahu ia akan tetap bangkit, seperti biasanya.