Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Hujan dan Cuplikan Masa Lalu

ilustrasi perempuan memegang payung (Pexels.com/Philip Justin Mamelic)

Diributnya rintik - rintik hujan yang membanting di atas permukaan bumi, aku cukup menikmati angin yang berkali - kali lewat di depanku, meninggalkan rasa sejuk yang tidak bisa dilupakan saat itu juga. Di dalam kantin, aku bisa melihat parkiran sepeda motor yang luas sekaligus lapangan bola basket yang terguyur basah oleh rintikan hujan yang lama - lama menggenang. 

Bukanlah waktu yang tepat untuk menikmati ketenangan di tengah keributan hujan deras ini, tapi begitulah aku menemukan ketenangan, dimana aku bisa menikmatinya selagi berada di dalam kebisingan yang ku tunggu - tunggu. Sendirian di dalam kantin, mataku terus menjelajah sampai akhirnya berhenti seperti menemukan lampu merah. Kamu adalah lampu merah yang aku maksud. Jujur saja, setiap kali mataku memotret wajahmu, beribu penyesalan langsung masuk ke dalam hatiku. 

Setahun lalu, rayuan matamu membuatku tertarik kepadamu. Biarlah mata yang berbicara, setelah itu biarkan mulut yang memulai. Kisah manis kita diawali dengan rayuan, candaan kecil yang terkadang terdengar tidak lucu. anehnya, aku menemukan ketertarikan di dalam candaan kita, bagaimana tawamu mengundang rasa senang di dalam hatiku. 

Di dalam kelas ketika di antara kita berdua tidak ada yang berani berbicara, ada saja cara takdir untuk memulai pembicaraan kita. Sepatah kata yang membawa kita ke ujung pembicaraan, senyuman terkadang gagal disembunyikan ketika kita saling berbicara. Rasa malu kita samar - samar menyembunyikan rasa suka. 

Andai saja aku tidak gegabah waktu itu, bisa saja kita menikmati musim hujan bersama - sama saat ini, bisa saja kita sudah mengukir kisah kita di berbagai tempat yang kamu dan aku sukai. Ego ku melampau tinggi, sifat bodohku ini mengakhiri kisah kita yang manis. Tatapan yang penuh rayuan sebelumnya kini berubah, bahkan kita tak pernah memandang satu sama lain sebagaimana kita memandang satu sama lain dulu. 

Bergelinang penyesalan, hatiku rasanya diremas oleh kebodohanku sendiri. Kamu semakin kurus, dan cara bicaramu mungkin tetap sama dan aku tidak tahu jelasnya, kita telah dipisahkan oleh egoku sejak lama, bagaimana hidupmu aku kurang mengerti saat ini. Sembunyi - sembunyi, mataku menjadi sayu, susah payah aku mengabaikanmu kalau rasa menyesal masih mengutukku. Susah sekali diriku untuk meminta maaf kepadamu. 

Temukanlah wanita yang tak memutusmu di tengah kisah yang akan jadi, kalau kau mendapatkannya maka cepat dan genggam erat tangannya yang lembut itu agar diriku tak dihantui oleh penyesalan ini. Alis tebal, hidung mancung, dan bibir tipismu akan terus terukir jelas dipikiranku, semoga semua hal yang kamu lewati akan berujung indah, seindah dirimu di mataku.

Dengan rasa yang enggan, aku bangkit dari kursi kantin dan berjalan, dan aku akan melewatimu. Ku buru - buru memalingkan wajahku darimu dan semoga kamu bisa lupa bagaimana caraku memandangmu dulu. Langkahku disembunyikan oleh rintikan hujan yang membasuh bumi, aku malu berada di dekatmu sebab akulah yang jahat. 

“Halo, kamu mau pulang?” 

Suaramu, yang ku rindukan. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Mustika W. Maharani
EditorMustika W. Maharani
Follow Us