Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Storial.co

Part 3 : Did He See My Body?

 

"Bersantailah sejenak. Masalah yang kau hadapi mungkin tak selesai, tetapi jiwamu akan lebih siap menghadapinya."

Suara benturan pintu yang dibanting keras oleh Bu Yatmi membuatku tersentak. Pak Harjanto geleng-geleng kepala, tangannya memijat pelan dahinya yang keriput. Matanya terpejam erat, seperti berharap bahwa yang barusan terjadi hanyalah mimpi di siang bolong.

"Pak?" Panggilku lembut seraya berlutut di sebelah pasienku. "Bapak sakit kepala?"

"Pusing sedikit aja, Na," sahut Pak Harjanto pelan. "Bapak minta tolong diantar ke kamar saja."

Aku mengangguk dan segera berdiri, kemudian memutar kunci pengaman kursi roda dan memutar satu-satunya alat mobilisasi Pak Harjanto. Dengan hati-hati, kudorong kursi itu menuju sebuah kamar besar yang isinya sudah dimodifikasi.

Tak ada lagi ranjang besar dengan perabot mahal yang sebelumnya menghuni ruangan itu. Yang tersisa adalah sebuah ranjang pasien elektrik yang terletak di tengah ruangan dengan tiang infus berdiri tegak di sebelahnya. Di samping kiri ranjang terdapat bedside monitor yang kini dalam kondisi mati, lengkap dengan juntaian kabel elektroda yang terikat rapi. Dua buah tabung oksigen besar dan satu tabung kecil berdiri tegak di sudut ruangan terpasang humidifier dan nasal kanul yang siap digunakan sewaktu-waktu.

Lemari besi terletak di seberangnya, berisi perlengkapan pasien seperti kasa, gunting, bengkok, beberapa mangkuk stainless, spuit, dan obat-obatan yang sudah diresepkan. Ada pula alat pengukur tensi darah dan termometer digital, juga stetoskop untuk mengukur tanda vital jika sedang tidak dipasang bedside monitor. Kalau dilihat lagi, kamar ini mirip seperti ruang VIP di rumah sakit.

Tiba di depan ranjang, aku membantu Pak Harjanto berdiri dan berpindah dari kursi roda ke tempat tidur. Setelah tubuhnya terbaring, kuatur ketinggian dan posisi kepala sesuai kenyamanannya menggunakan remote kontrol. Terakhir, kubentangkan selimut hingga setinggi dada Pak Harjanto.

"Ada lagi yang bisa dibantu, Pak?" tanyaku lembut. Rasa iba menjalariku kala menatap sosok rapuh di depanku.

"Sudah. Sudah cukup. Terima kasih," ucap Pak Harjanto serak. "Saya mau tidur dulu saja."

"Baik. Kalau ada apa-apa tekan belnya ya, Pak," pesanku diiringi anggukannya.

"Kamu ini, seperti baru hari pertama merawat saya," ujarnya tertawa parau.

Aku tersenyum dan berpamitan. Merasa khawatir, aku kembali berpesan untuk segera menekan bel jika butuh bantuan. Setelah memastikan semua kebutuhannya tercukupi, aku berjalan melewati pintu sambung yang terhubung dengan kamar tidur lain.

Ruangan di sebelah sedikit lebih kecil dari kamar utama tempat Pak Harjanto, tapi semua perabot tetap memancarkan kesan mewah dan mahal. Televisi layar datar terletak di dinding yang membatasi kamar dengan kamar mandi. Di bawahnya rak dengan berbagai action figure superhero tertata rapi, tak pernah berani kusentuh.

Tanpa berbasa-basi lagi, aku segera melompat ke ranjang empuk king size yang terletak di tengah ruangan. Kurebahkan diri sejenak, menumpahkan sesak yang sebelumnya kusembunyikan. Aku berterima kasih pada diriku sendiri karena berhasil mengontrol emosi, tapi mengingat kejadian tadi amarah kembali menggelayuti. Sungguh, betapa aku ingin mencabik mulut jahat Bu Yatmi kalau saja kewarasanku sudah menguap. 

Lagi pula, siapa yang ingin terjebak pada pekerjaan dua puluh empat jam ini? Kalau bukan karena dr. Henry yang meminta, aku tak akan pernah menerima pekerjaan yang menyita seluruh hidupku. Yah, walau gajinya besar dan sangat menggiurkan. Lima kali lipat dibanding gaji perawat di RS yang setara UMR!

Namun, dianggap sebagai perempuan simpanan pengusaha tua kaya sangat membuatku muak. Bukan hanya Bu Yatmi, bahkan beberapa teman yang nyinyir acap kali menyinggungku dengan pembahasan yang sama. 

Kutinju guling tak bersalah yang sebelumnya berada dalam pelukanku. Kujambak rambutku sendiri, berharap rasa berat yang menggelayuti kepalaku segera hilang. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengembalikan kewarasanku. Tidak, aku tak boleh begini. Apa artinya aku belajar keperawatan jiwa kalau aku tak menerapkan koping positif untuk mengusir stres yang menekanku?

Napas dalam dan distraksi, dua teknik relaksasi yang paling bisa kulakukan saat ini. Semoga teknik ini mampu meredakan kekesalan yang menggerogoti setiap jengkal nuraniku.

Aku mulai menarik napas panjang melalui hidung dan menahannya sejenak di rongga paru-paru. Sesaat kemudian, kuembuskan perlahan udara melalui mulut dengan tiupan kecil. Kuulangi lagi teknik itu selama beberapa saat, sambil membayangkan keindahan dataran tinggi Dieng tempat aku dilahirkan. Aku rasakan udara dinginnya membelai kulit dengan lembut. Bentangan pepohonan menghijau, danau jernih berhias alga, dan aroma tanah yang baru saja dicangkul.

Sebuah ide terlintas saat aku sedang menikmati jernihnya sungai yang mengalir dari pegunungan. Mandi. Bagaimana aku bisa melupakan hobi favoritku ini jika sedang dalam masalah? Ah, mungkin membersihkan tubuh akan menjadi obat mujarab untuk membersihkan jiwa dan ragaku yang kusam. Segera aku turun dari ranjang dan berjalan lunglai menuju kamar mandi.

Seperti halnya kamar mewah yang kutempati, kamar mandi ini juga tak pernah kubayangkan bisa kugunakan. Separuh tubuhku menyambut melalui kaca besar yang terletak di seberang pintu. Di bawahnya, rak berisi handuk dan perlengkapan mandi tersimpan rapi, siap dipakai kapanpun. Sebuah bath tub terpasang di sudut ruangan dengan pancuran di atasnya. Berbeda di kampungku dulu yang harus ke sungai jika ingin mandi di pancuran.

Gemericik air turun dari shower, meluncur deras membasahi tubuhku. Aku pun memejamkan mata dengan wajah menengadah, membiarkan kesegaran mengusir kepenatan yang mendera. Tangan kananku meraba deretan botol yang berjajar di dinding keramik, mengambil sebuah botol berwarna putih dengan tutup hijau yang menyerbakkan aroma mint.

Dengan lihai kubuka tutupnya dan menyemprotkan isinya pada telapak tanganku. Kuusapkan cairan kental itu pada rambut hitam sepunggung sambil kupijat pelan. Sensasi relaksasi yang menyenangkan begitu terasa saat aku memejamkan mata. Baru kemudian aku mengusap kulit kuning langsatku dengan sabun beraroma mawar yang lembut. Terakhir, aku pun membasuh seluruh bagian tubuh, menikmati setiap tetes air yang terasa membelai kulit.

Suara dering keras menghentakkan gendang telingaku, membuatku terlonjak. Kuhentikan aktivitasku dan memasang pendengaran lebih jeli. Namun, aku tetap tak dapat mengira apakah bunyi ponselku atau nurse call dari Pak Harjanto yang butuh bantuan?

Dengan cepat, aku melilitkan sehelai handuk putih di badan. Rambutku yang basah kubiarkan tergerai, menyisakan tetesan air yang membasahi lantai. Aku membuka pintu kamar mandi dan mengernyit kala melihat lampu nurse call yang masih padam.

Aku beralih pada sumber suara yang ternyata berasal dari ponselku yang sedang diisi daya. Bodohnya aku sering kali lupa dengan nada dering ponselku sendiri. Terlihat sinar di benda persegi panjang itu berkedip mengiringi dering tiada henti. Aku pun segera berlari menuju meja tempat ponsel yang sedang diisi daya bersemayam di seberang pintu.

Seketika suara hentakan keras terdengar dari pintu menuju luar kamar. Bagai ditekan tombol freeze, tubuhku mendadak kaku. Mataku membulat saat beradu pandang dengan sesosok pria muda berpostur tinggi yang langsung menghambur masuk.

Napasku terhenti sejenak saat ia berhenti sekitar satu meter di depanku. Udara dingin merayapi saraf Krause di sekujur kulitku saat aku dan pria itu berdiri mematung untuk beberapa saat. Aku pun terhenyak, menyadari bahwa aku tidak mengenakan baju, hanya sehelai handuk yang terlilit asal di tubuhku.

Seperti pasien henti jantung yang tiba-tiba tersadar karena mendapat hentakan defibrilator, spontan aku menjerit.

"Aaaaaaaarrrrgggghhhh!"

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team