Saat itu, kita hanyalah dua orang asing. Yang sama-sama menunggu selesainya hujan merindu pada tanah. Berteduh di bawah dahan tua sambil menyaksikan riuhnya mereka tertawa.
Benar-benar selayaknya orang asing, kita hanya peduli pada diri kita masing-masing. Lebih peduli pada jalur yang licin berserta batu dan akar yang melintang, daripada urusan orang yang hanya akan menyusahkan.
Sempat terpikir olehku, bahwa kamu bukanlah orang asing. Karena di saat semua orang melewati hanya untuk permisi, kamu justru mendekat dan menghampiri. Kamu menyadari hal kecil yang orang lain tidak peduli. Ya, kamu melihatnya. Noda merah yang merembes di ujung celana. Dan dengan peralatan seadanya, kamu mencoba membalutnya. Memerban dengan perlahan hingga darah yang mengalir itu pun surut.
Tidak sampai di situ, kamu juga memutuskan untuk tetap membersamai. Membantuku berdiri dan bersabar dengan langkahku yang tertatih. Bukan hanya untuk sesaat, tetapi sampai dengan akhir perjalanan panjang kita pada hari itu.
Aku sangat mengerti beratnya menyimbangkan jalan bersama orang pincang. Apalagi, kita sama-sama membawa beban, tentu bukan hal yang mudah untuk tetap bisa jalan beriringan. Namun, tidak sedikit pun kudengar umpat terucap dari bibirmu. Walau aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatimu, tapi, aku salut.
Walau sempat terpikir olehku bahwa kamu bukanlah orang asing, namun ternyata, kita – tetaplah – orang asing.
Karena meski jalan beriringan, saling menguatkan, bahkan tidak melepas genggaman, namun, tetap saja. Kita dua orang yang tidak saling mengenal. Hanya dua orang yang tidak sengaja bertemu kemudian saling membantu. Tidak menyapa, juga tidak mengucapkan kata pisah. Hanya dua orang yang kebetulan berjumpa. Tidak lebih.