Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi memberi bantuan makanan
ilustrasi memberi bantuan makanan (pexels.com/cottonbro studio)

Banjir yang melanda beberapa daerah di Sumatra membuat kebutuhan makanan siap santap meningkat, tetapi tidak semua makanan cocok dibagikan dalam kondisi darurat, lho. Lingkungan yang lembap, akses air bersih yang terbatas, dan tidak adanya fasilitas memasak membuat beberapa jenis makanan justru berisiko menimbulkan penyakit.

Mengetahui jenis makanan yang sebaiknya dihindari membantu memastikan bantuan yang datang akan jauh lebih aman, praktis, dan tidak menimbulkan masalah kesehatan baru. Banyak orang berniat baik, tetapi pilihan makanannya belum tentu tepat kalau tidak memahami faktor higienitas dan daya simpannya. Berikut daftar makanan yang sebaiknya tidak diberikan ke korban banjir agar bantuan tetap efektif dan aman dikonsumsi.

1. Sambal ekstra pedas memicu masalah di perut kosong

ilustrasi sambal botolan (pexels.com/tlantic Ambience)

Makanan pedas seperti sambal terasi, sambal bawang, atau sambal botolan ekstra pedas bisa bikin perut sensitif cepat bermasalah di situasi pengungsian. Tanpa akses toilet yang layak, gangguan pencernaan jadi jauh lebih merepotkan. Makanan pedas juga tidak cocok untuk anak-anak dan lansia yang tubuhnya sedang drop.

2. Mie instan menyulitkan korban yang gak punya air panas

ilustrasi mie instan (unsplash.com/Zoshua Colah)

Mie instan memang praktis, tetapi tanpa air panas mie mau tidak mau dimakan mentah. Teksturnya yang keras dan bumbu asin tinggi bisa memicu dehidrasi dan nyeri lambung pada kondisi tubuh yang lagi lelah. Situasi ini bikin mie instan kurang ideal untuk bantuan darurat.

3. Roti krim cepat rusak di cuaca lembap

ilustrasi roti isi krim (unsplash.com/Markus Winkler)

Roti isi krim seperti roti susu atau roti vanila jauh lebih cepat basi karena cuaca lembap mempercepat pertumbuhan bakteri. Kondisi penyimpanan di pengungsian juga tidak ideal sehingga risiko kontaminasi meningkat. Roti tawar atau roti kering jauh lebih aman dibagikan kepada korban banjir.

4. Buah matang mudah berfermentasi di ruang terbatas

ilustrasi buah pisang (unsplash.com/Ian Talmacs)

Pisang matang, pepaya, atau melon gampang lembek dan berubah rasa ketika suhu ruang tidak stabil. Teksturnya yang cepat rusak bisa memicu bakteri berkembang lebih cepat. Buah yang lebih tahan seperti jeruk atau apel lebih cocok untuk bantuan massal.

5. Gorengan karena lebih mudah tengik

ilustrasi gorengan (vecteezy.com/Seftian Anderson)

Tempe goreng, bakwan, atau tahu isi akan berubah rasa hanya dalam beberapa jam karena minyaknya cepat tengik. Korban yang sedang lelah lebih sensitif terhadap makanan berlemak sehingga mudah mual. Gorengan juga tidak tahan lama untuk penyimpanan di posko.

6. Kornet dan sarden butuh pemanasan untuk dikonsumsi

ilustrasi makanan kaleng (vecteezy.com/Witsanu Patipatamak)

Makanan kaleng jenis kornet, tuna kaleng atau sarden lebih aman dikonsumsi setelah dipanaskan agar tidak menimbulkan rasa mual. Sayangnya banyak posko tidak punya kompor atau gas sehingga makanan ini sulit digunakan. Makanan kaleng siap santap jadi opsi yang lebih cepat dan aman.

7. Daging segar gak bisa bertahan lama tanpa kulkas

ilustrasi daging segar (vecteezy.com/Bigc Studio)

Ayam atau sapi segar akan cepat rusak tanpa penyimpanan dingin, terutama di lingkungan banjir yang sangat lembap. Risiko bakteri meningkat hanya dalam hitungan jam dan ini bisa memicu infeksi pencernaan. Situasi ini membuat daging mentah tidak praktis untuk kondisi darurat.

8. Minuman manis kemasan memperparah rasa haus

ilustrasi soda (vecteezy.com/NARONG KHUEANKAEW)

Teh manis botolan, soda, atau jus tinggi gula justru bikin tubuh makin haus ketika air bersih terbatas. Kandungan gulanya tidak cocok untuk kondisi tubuh korban yang butuh hidrasi stabil. Air mineral atau minuman elektrolit jauh lebih sesuai untuk keadaan darurat.

9. Kue basah tradisional cepat berjamur saat suhu naik turun

ilustrasi dadar gulung (vecteezy.com/Jennifer Miranda Lobijin)

Kue seperti lemper, nagasari, dadar gulung, atau klepon punya daya simpan yang sangat pendek. Perubahan suhu membuatnya cepat lembap dan berjamur, terutama jika pengemasannya tidak kedap udara. Kondisi ini rentan bikin keracunan makanan.

10. Sayuran mentah langsung makan atau lalapan

ilustrasi sayuran mentah (vecteezy.com/Irina Kryvasheina)

Sayuran seperti selada, kol, atau bayam butuh pencucian air bersih sebelum dimakan, dan ini sulit dilakukan di lokasi banjir. Lumpur atau bakteri yang menempel sangat mudah ikut tertelan. Sayuran matang atau lauk olahan jauh lebih aman untuk dibagikan terutama yang sudah diolah di dapur umum posko bencana.

Penyaluran bantuan makanan di tengah banjir butuh perhatian ekstra karena tidak semua makanan cocok untuk kondisi terbatas seperti minimnya air bersih dan tidak adanya fasilitas memasak. Makanan yang cepat rusak, sulit disajikan, atau berpotensi menimbulkan gangguan pencernaan bisa memperburuk keadaan korban yang sedang beradaptasi di pengungsian. Bantuan yang paling ideal adalah makanan siap makan yang tahan lama, higienis, dan aman dikonsumsi tanpa perlengkapan tambahan. Dengan memilih makanan yang tepat, upaya solidaritas bisa benar-benar membantu pemulihan warga yang terdampak banjir.

Referensi:

"10 Worst Things to Donate After a Disaster" How Stuff Work. Diakses pada Desember 2025

"Food and Nutrition in Disasters" Pan American Health Organization. Diakses pada Desember 2025

"Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar" BNPB. Diakses pada Desember 2025

"Food safety after a flood - consumer advice" Food Standards Agency. Diakses pada Desember 2025

"Food safety in the home after flooding" New Zealand Food Safety Minsitry of Primary Industries. Diakses pada Desember 2025

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team