Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi selat solo
ilustrasi selat solo (vecteezy.com/Tyas Indayanti)

Kuliner lokal selalu menyimpan lebih dari sekadar rasa sebab ada cerita tentang asal-usul, kelas sosial, dan jejak budaya di balik setiap sajiannya. Di masa lampau, dapur istana menjadi tempat lahirnya banyak hidangan khas yang kini dikenal luas. Para juru masak kerajaan memadukan bahan terbaik, teknik rumit, dan cita rasa tinggi untuk menciptakan makanan yang melambangkan kehormatan serta kemewahan.

Melihat kuliner lokal dari sisi bangsawan adalah cara menarik untuk memahami bagaimana cita rasa berkembang dari simbol status menjadi warisan budaya. Beberapa hidangan yang dulu hanya tersaji di meja raja kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Berikut lima kuliner lokal yang tercipta dari lingkungan bangsawan dan tetap bertahan hingga kini.

1. Coto makassar merupakan hidangan sapi kaya rempah dari dapur Raja Gowa

ilustrasi coto makassar (commons.wikimedia.org/(Lofor))

Coto makassar awalnya bukan makanan rakyat, melainkan sajian istimewa untuk para bangsawan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Daging sapi yang digunakan dipilih dengan teliti, dipadukan dengan jeroan dan bumbu kacang tanah yang halus. Kuahnya yang kental dan aromatik dihasilkan dari proses perebusan lama yang menonjolkan kekayaan rempah Nusantara. Setiap sendok menghadirkan cita rasa gurih dalam tingkat yang seimbang, menandakan kemewahan dapur istana yang tak hanya mengandalkan bahan, tapi juga ketepatan rasa.

Dulu, hanya para bangsawan yang bisa menikmati hidangan ini, karena proses memasaknya membutuhkan waktu panjang dan bahan yang tidak murah. Kini, coto makassar menjadi kuliner kebanggaan masyarakat Sulawesi, disajikan dengan ketupat dan sambal taoco khas Makassar. Meski telah menjadi makanan rakyat, aura istananya tetap terasa dari cara penyajiannya yang rapi dan rasa kuahnya yang dalam, seolah membawa kembali kejayaan masa Kerajaan Gowa.

2. Gudeg manggar jadi sajian langka yang dulu hanya untuk Raja Mataram

gudeg manggar (instagram.com/gudegmanggarluwengkayu)

Sebelum gudeg nangka populer seperti sekarang, versi aslinya justru menggunakan bunga kelapa muda atau manggar. Di masa Kerajaan Mataram, bahan ini dianggap mewah karena tidak mudah didapat dan hanya tumbuh di pohon kelapa yang belum berbuah. Rasanya lebih lembut dan gurih, dengan aroma khas yang tidak terlalu manis. Proses memasaknya juga rumit, karena bunga kelapa harus direbus lama agar empuk sebelum dimasak bersama santan dan rempah.

Gudeg manggar menjadi simbol kelembutan dan kesabaran, dua hal yang dihargai dalam budaya Jawa. Hidangan ini sering disajikan saat perayaan istana atau upacara kenegaraan, menandakan rasa hormat kepada tamu yang datang. Kini, gudeg manggar semakin jarang ditemukan karena bahan bakunya terbatas, tetapi beberapa daerah di Yogyakarta masih menjaga resepnya agar tidak hilang dari sejarah kuliner lokal.

3. Selat solo merupakan perpaduan rasa Jawa dan pengaruh kuliner Eropa

selat solo (instagram.com/seleramode)

Selat solo lahir dari pertemuan dua budaya yaitu Jawa dan Belanda di lingkungan Keraton Surakarta. Di masa kolonial, para bangsawan mulai mengenal steak eropa, tetapi tidak semua menyukai rasa asin dan saus kental khas Barat. Dari sinilah juru masak istana berkreasi, menciptakan versi lokal dengan bumbu kecap, lada, dan pala agar sesuai dengan lidah Jawa. Hasilnya adalah hidangan yang memadukan daging sapi lembut, sayuran rebus, dan saus encer beraroma rempah yang segar.

Awalnya, hanya keluarga istana yang bisa menikmati selat solo karena bahan dan cara penyajiannya tergolong mewah. Namun, setelah kemerdekaan, hidangan ini menyebar dan menjadi ikon kuliner Jawa Tengah. Keunikan selat solo terletak pada keseimbangan rasa gurih, manis, dan asam yang ringan, menggambarkan karakter masyarakat Solo yang halus dan penuh tata krama, tetapi tetap terbuka terhadap pengaruh luar.

4. Dodol menjadi hidangan penutup istana di masa lampau

dodol (commons.wikimedia.org/Midori)

Dodol mungkin terlihat sederhana, tetapi dulunya merupakan makanan istana di masa Mataram Kuno. Proses pembuatannya panjang dan membutuhkan tenaga besar yakni antan, tepung ketan, dan gula merah dimasak perlahan di atas api kecil sambil terus diaduk agar tidak gosong. Butuh waktu berjam-jam hingga adonan mencapai tekstur kenyal dan berkilau. Di dapur istana, pembuatan dodol dianggap sebagai bentuk latihan kesabaran dan ketelitian.

Rasa manis dodol bukan hanya dari gula merah, tetapi juga dari makna di baliknya yakni ketekunan membawa hasil yang manis. Karena maknanya yang dalam, dodol sering dijadikan hidangan perayaan atau tanda syukur. Kini dodol memiliki banyak versi dodol garut, dodol betawi, hingga dodol aceh. Namun, semangat yang dibawanya tetap sama yakni kesederhanaan yang berkelas dan rasa yang tak lekang oleh waktu.

5. Urap jadi sajian yang menyatukan sayur dan kehidupan istana

urap sayur (commons.wikimedia.org/Gunawan Kartapranata)

Urap sudah dikenal sejak masa Kerajaan Medang, bahkan tercatat dalam Prasasti Linggasutan tahun 929 Masehi. Hidangan ini menggabungkan berbagai sayuran seperti bayam, tauge, dan daun singkong yang dicampur kelapa parut berbumbu. Di istana, urap tak sekadar makanan, melainkan simbol keharmonisan antara manusia dan alam. Kelapa melambangkan kebersamaan, sementara sayuran mewakili kesuburan dan kesejahteraan.

Pada masa kerajaan, urap sering dihidangkan dalam upacara penting sebagai doa untuk kemakmuran. Meskipun sederhana, rasa gurih dan segarnya mampu menghadirkan keseimbangan di meja makan. Hingga kini, urap tetap disajikan dalam berbagai acara adat dan dianggap membawa berkah. Dari sini, tampak jelas bahwa kuliner lokal tak selalu bergantung pada kemewahan bahan, melainkan pada nilai dan makna yang tersimpan di setiap racikannya.

Kuliner lokal yang lahir dari dapur bangsawan bukan hanya tentang rasa, tetapi juga perjalanan sejarah yang panjang. Kini, makanan-makanan itu tak lagi eksklusif, tetapi tetap membawa kesan istimewa di setiap suapan. Jadi, dari semua hidangan tradisional yang pernah kamu cicipi, mana yang menurutmu masih terasa seperti santapan raja?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team