ilustrasi tape singkong (commons.wikimedia.org/Rendy Roziki)
Tradisi makan keluarga Korea menuntut adanya persediaan makanan yang bisa dikonsumsi sepanjang tahun terutama saat musim dingin, sehingga berbagai bahan difermentasi untuk memenuhi kebutuhan itu. Sementara itu, masyarakat Jepang mengembangkan fermentasi dengan memanfaatkan hasil laut seperti ikan dan rumput laut yang kemudian dipadukan dengan nasi untuk membuat hidangan seperti sushi dan katsuobushi. Di Indonesia, fermentasi berkembang dari kearifan lokal memanfaatkan bahan yang melimpah di daerah tropis seperti singkong, kedelai, dan beras.
Kebiasaan makan yang berbeda ini membuat setiap negara memiliki karakter fermentasi khas. Korea lebih menonjolkan fermentasi sayuran dan pasta bumbu pedas untuk menemani nasi putih, Jepang mengutamakan fermentasi kedelai dan ikan untuk memperkaya sup dan saus, sementara Indonesia mengolah biji-bijian atau umbi menjadi pangan pokok alternatif maupun camilan manis. Warisan budaya ini mempengaruhi cara masyarakat memandang fermentasi, bukan sekadar teknologi dapur tetapi juga bagian identitas kuliner.
Teknik masak Korea melalui fermentasi menghadirkan kombinasi unik antara faktor iklim hingga tujuan kuliner yang berbeda dari Jepang dan Indonesia. Memahami perbedaan ini tidak hanya menambah wawasan tentang ragam cita rasa Asia, tetapi juga menunjukkan betapa eratnya hubungan antara budaya, lingkungan, dan teknik memasak dalam membentuk karakter sebuah hidangan. Fermentasi menjadi bukti bahwa sains dan tradisi dapat berpadu untuk menghasilkan makanan yang khas dan terus bertahan lintas generasi.