Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi membuat kimchi (commons.wikimedia.org/Anattadairy)
ilustrasi membuat kimchi (commons.wikimedia.org/Anattadairy)

Teknik masak Korea dikenal luas karena mampu mengubah bahan sederhana menjadi hidangan dengan cita rasa kompleks. Salah satu teknik yang paling ikonik adalah fermentasi yang menjadi dasar banyak makanan khas, mulai dari kimchi hingga gochujang. Fermentasi bukan sekadar cara mengawetkan bahan, tetapi juga proses biokimia yang memunculkan rasa umami, aroma tajam, dan tekstur yang unik.

Jika dibandingkan dengan fermentasi di Jepang atau Indonesia, rasa yang dihasilkan dari proses ini pun tidak hanya dipengaruhi oleh resep tetapi juga faktor lingkungan yang sulit ditiru di tempat lain. Berikut adalah lima perbedaan penting yang membuat teknik fermentasi makanan Korea menonjol jika dibandingkan dengan Jepang dan Indonesia.

1. Lingkungan dan suhu memengaruhi laju fermentasi

natto (commons.wikimedia.org/Kinchan1)

Fermentasi di Korea banyak bergantung pada iklim yang memiliki empat musim dengan perubahan suhu drastis. Kimchi tradisional misalnya, difermentasi pada suhu rendah saat musim dingin sehingga bakteri asam laktat dapat bekerja perlahan dan menghasilkan rasa asam yang seimbang. Berbeda dengan Indonesia yang beriklim tropis panas dan lembap sehingga fermentasi berjalan lebih cepat, contohnya pada tempe yang hanya butuh 1–2 hari untuk matang. Jepang memiliki iklim sedang yang relatif stabil sehingga fermentasi seperti miso dan shoyu dilakukan dalam wadah tertutup di ruangan yang dikontrol suhunya.

Perbedaan suhu ini berpengaruh besar terhadap perkembangan mikroba dan profil rasa. Fermentasi lambat pada suhu dingin cenderung menciptakan rasa yang lebih kompleks dan aroma yang tidak terlalu menyengat, sedangkan suhu hangat mempercepat pembentukan asam dan gas yang membuat rasa menjadi lebih tajam. Faktor iklim inilah yang menjelaskan mengapa kimchi memiliki cita rasa yang dalam, sementara tempe atau tape singkong di Indonesia cenderung lebih cepat matang dengan rasa asam atau manis yang ringan.

2. Peran garam laut dan bahan pemicu rasa umami

ilustrasi garam (vecteezy.com/bigcxlotus)

Korea terkenal menggunakan garam laut dalam jumlah besar untuk proses fermentasi sayuran maupun pasta bumbu seperti gochujang dan doenjang. Garam laut ini membantu menahan pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan memberi rasa gurih alami yang khas. Sementara itu, fermentasi di Jepang sering memanfaatkan koji, yaitu jamur Aspergillus oryzae, untuk memecah karbohidrat dan protein menjadi rasa umami yang lembut. Di Indonesia, sebagian besar fermentasi tradisional lebih mengandalkan ragi atau kapang alami yang bekerja cepat tanpa banyak penambahan garam.

Garam laut yang digunakan di Korea juga memiliki kandungan mineral yang mempengaruhi cita rasa akhir hidangan. Kandungan kalsium dan magnesium di dalamnya menambah kedalaman rasa dan membantu menciptakan tekstur renyah pada sayuran kimchi. Sedangkan penggunaan koji di Jepang menghasilkan rasa manis alami pada miso atau sake, berbeda dengan tempe Indonesia yang menghasilkan rasa kacang yang ringan berkat pertumbuhan kapang Rhizopus oligosporus.

3. Jenis wadah tradisional menentukan karakter aroma

Onggi (commons.wikimedia.org/駐日韓国大使館 韓国文化院)

Fermentasi makanan Korea sering dilakukan dalam wadah tanah liat besar yang disebut onggi, yang bersifat berpori sehingga memungkinkan pertukaran udara secara alami. Wadah ini membuat proses fermentasi berjalan stabil sekaligus memberi karakter aroma yang khas pada kimchi, doenjang, maupun ganjang (kecap asin Korea). Jepang juga menggunakan wadah kayu atau tong tradisional untuk miso dan shoyu, tetapi biasanya prosesnya lebih tertutup rapat untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembapan. Indonesia umumnya memakai daun pisang, keranjang bambu, atau plastik modern untuk mengemas bahan yang difermentasi.

Keberadaan pori pada onggi membantu mengendalikan kelembapan dan tekanan gas sehingga bakteri asam laktat dapat bekerja secara optimal tanpa risiko pembusukan berlebih. Ini berbeda dengan tempe yang terbungkus daun atau plastik yang lebih kedap udara, sehingga fermentasinya bersifat anaerob. Faktor wadah ini sering luput diperhatikan, padahal memiliki kontribusi nyata pada rasa, aroma, dan bahkan warna produk fermentasi.

4. Tujuan fermentasi menciptakan lapisan rasa yang kompleks

ilustrasi miso (commons.wikimedia.org/E136)

Bagi masyarakat Korea, fermentasi bukan hanya untuk mengawetkan makanan saat musim dingin, tetapi juga untuk menciptakan hidangan dengan lapisan rasa yang kaya. Kimchi, doenjang, dan gochujang dirancang untuk menjadi bagian penting dalam hidangan utama dan menyumbangkan kedalaman rasa umami serta asam yang seimbang. Di Jepang, fermentasi lebih diarahkan untuk menghasilkan bumbu dasar yang memperkaya masakan lain seperti miso, shoyu, dan mirin. Indonesia cenderung memakai fermentasi sebagai cara mengawetkan bahan agar tahan lama atau menambah cita rasa sederhana pada makanan seperti tape dan tempe.

Fokus terhadap pengembangan rasa yang kompleks membuat fermentasi Korea memiliki posisi istimewa dalam budaya kuliner. Hampir semua hidangan khas Korea memiliki unsur fermentasi sebagai pembeda utama, sedangkan di Indonesia makanan fermentasi lebih sering dianggap pelengkap atau lauk sederhana. Hal ini juga mempengaruhi teknik pemantauan fermentasi, di mana pengrajin kimchi tradisional akan menyesuaikan lama penyimpanan hingga tekstur dan rasa yang diinginkan tercapai.

5. Pengaruh tradisi dan kebiasaan makan membentuk ragam fermentasi

ilustrasi tape singkong (commons.wikimedia.org/Rendy Roziki)

Tradisi makan keluarga Korea menuntut adanya persediaan makanan yang bisa dikonsumsi sepanjang tahun terutama saat musim dingin, sehingga berbagai bahan difermentasi untuk memenuhi kebutuhan itu. Sementara itu, masyarakat Jepang mengembangkan fermentasi dengan memanfaatkan hasil laut seperti ikan dan rumput laut yang kemudian dipadukan dengan nasi untuk membuat hidangan seperti sushi dan katsuobushi. Di Indonesia, fermentasi berkembang dari kearifan lokal memanfaatkan bahan yang melimpah di daerah tropis seperti singkong, kedelai, dan beras.

Kebiasaan makan yang berbeda ini membuat setiap negara memiliki karakter fermentasi khas. Korea lebih menonjolkan fermentasi sayuran dan pasta bumbu pedas untuk menemani nasi putih, Jepang mengutamakan fermentasi kedelai dan ikan untuk memperkaya sup dan saus, sementara Indonesia mengolah biji-bijian atau umbi menjadi pangan pokok alternatif maupun camilan manis. Warisan budaya ini mempengaruhi cara masyarakat memandang fermentasi, bukan sekadar teknologi dapur tetapi juga bagian identitas kuliner.

Teknik masak Korea melalui fermentasi menghadirkan kombinasi unik antara faktor iklim hingga tujuan kuliner yang berbeda dari Jepang dan Indonesia. Memahami perbedaan ini tidak hanya menambah wawasan tentang ragam cita rasa Asia, tetapi juga menunjukkan betapa eratnya hubungan antara budaya, lingkungan, dan teknik memasak dalam membentuk karakter sebuah hidangan. Fermentasi menjadi bukti bahwa sains dan tradisi dapat berpadu untuk menghasilkan makanan yang khas dan terus bertahan lintas generasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team