ilustrasi tangyuan (commons.wikimedia.org/Peachyeung316)
Tangyuan atau tong yuen dalam Bahasa Kanton sudah menjadi bagian dari budaya China. Mengutip PostMag melalui South China Morning Post, tangyuan bermula pada masa Dinasti Han, saat seorang pembuat dumpling di kota China Kuno, Changan, bernama Yuanxiao. Ia melayani kaisar dan tidak diizinkan untuk pulang ke rumah orang tuanya.
Yuanxiao mengalami depresi dan berniat mengakhiri hidupnya dengan melompat ke dalam sumur. Saat bersamaan, Dongfang Shuo, penasihat kaisar menemukanya dan menyusun rencana untuk mempertemukan Yuanxiao dengan orangtuanya. Ia pun mengarang rumor bahwa akan terjadi kebakaran hebat di kota itu pada hari ke-15 bulan ke-1 penanggalan lunar, jika Dewa Api tidak ditenangkan.
Kaisar yang khawatir melihat kepanikan di tengah masyarakat, bertanya kepada Dongfang tentang apa yang harus dilakukan. Penasihat itu pun mengusulkan untuk membuat tangyuan, kesukaan Dewa Api. Yuanxiao bersama penduduk kota ditugaskan untuk membuat dumpling, yangyuan, dalam jumlah banyak untuk persembahan.
Hal tersebut dapat membuat orangtua Yuanxiao datang ke kota untuk menemui putrinya. Selain itu, hal tersebut dianggap membawa keberuntungan, karena hari ke-15 berlalu tanpa musibah. Sejak saat itu, kaisar menetapkan bahwa tradisi tersebut harus diulang setiap tahunnya yang dikenal pula sebagai Yuanxiao Jie.
Keberadaan wedang ronde di Indonesia berkaitan erat dengan tangyuan yang diperkenalkan orang China. Sudah bisa ditebak bahwa wedang ronde merupakan perpaduan budaya Tionghoa dan Nusantara. Nama ronde berasal dari bahasa Belanda rond yang berarti bulat, kemudian menjadi rondje untuk menunjukkan kata jamak.
Wedang ronde dijual bebas dan dapat ditemui di berbagai wilayah di Indonesia. Kamu dapat menikmatinya kapan saja, tanpa perlu menunggu perayaan tertentu. Bahkan, wedang ronde dianggap sebagai sajian hangat yang patut dicicipi saat musim hujan.