TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Foodies Rawan Penyakitan, Vicky Yuwono Bagi Tips Jaga Badan

Kolesterol adalah sahabat paling dekat

IDN Times/Reza Iqbal

Siapa bilang jadi foodies selalu enak? Makan selalu dibayari adalah impian semua orang. Tapi gimana kalau kita justru gak bisa mengontrol apa saja yang harus kita makan?

Foodies justru jauh dari kata sehat, karena kebanyakan makanan yang harus di-review mengandung kolesterol dan lemak tinggi. Lalu, bagaimana supaya tetap sehat dan jauh dari penyakit? Nah, Vicky Yuwono, foodies asal Surabaya akan berbagi pengalaman dan tips untuk menjaga kesehatan badan di tengah-tengah tuntutan "pekerjaan makannya" itu.

Baca Juga: Awalnya Iseng, Ini Kisah Vicky Yuwono Jadi Foodies Terkenal

1. Menyiasati banyaknya makanan yang harus dimakan dalam sehari

instagram.com/vickyyuwono

Q: Biasanya berapa tempat yang didatangi dalam sehari?

A: Maksimal tiga sih. Tapi kalau yang di luar kota karena maksimalin (waktu) gitu kan, pernah 9 tempat. Jakarta itu pernah, apalagi pas Lebaran kan pasti masih sepi. Aku pernah dalam sehari bisa 7 tempat. Tapi gini, 7-8 itu gak semua makan berat, lebih ke campur-campur.

Kayak misalnya, tiga coffe shop, karena aku gak terlalu suka minum kopi, jadi ya datang dan foto-foto aja. Atau gak ya minum teh. Bisa juga satu cake dibagi-bagi. Terus kalau ke resto, kita biasanya gak pesen main course-nya, tapi cuma appetizer atau dessert-nya. Kalau misal pengen tahu aja, biasanya kita pesan salad dan mineral water atau nachos lah buat ngemil-ngemil. Yang penting kita tahu kan.

Nah, kalau dihajar main course semua ya gak kuat. Makannya gak kuat, habisnya juga lebih banyak, karena lebih mahal.

Q: Kalau seandainya sehari ada 2-4 kali undangan, itu besoknya gimana, mau membatasi makan apa gimana?

A: Kalau kita banyak undangan, kita gak benar-benar makan. Jadi cuma cicipi aja. Misalnya satu tempat makanannya enak-enak banget, ya harus bisa ditahan-tahan, karena masih ada tempat lain lagi. Jadi cuma icip-icip aja. Kalau gak icip, kita gak akan tahu kalau pas ditanya.

Q: Selain enak, kenapa kamu mau datang ke tempat itu berkali-kali?

A: Kadang aku memang suka ambience-nya, akhirnya aku balik lagi, balik lagi. Terus percaya gak percaya, aku tuh tergantung dari relasinya, apalagi kalau orangnya baik banget. Soalnya kalau relasi gak baik, ngapain ya kita ke tempat itu lagi, gak usahlah, ke tempat lain aja. Jadi kayak katanya orang-orang, mending kalian gak usah tahu owner-nya siapa biar lebih obyektif. Terus biasanya juga ada 1-2 makanan yang aku suka di situ.

Q: Apa saja sih prinsip kamu selama nge-review?

A: Kita tetep jadi diri sendiri aja, ya. Kayak tadinya aku sempat nyoba food street (berdasarkan saran teman-teman), tapi balik lagi (ke resto atau kafe fancy). Memang bagus sih interaksinya, likes-nya banyak. Tapi kalau disuruh itu terus kayaknya aku gak bisa deh. Even lagi ke luar kota pun, yang aku list ya kafe ke kafe. Makanan lokal ya coba juga, tapi cuma via delivery aja, gak sampai datang ke tempat.

Q: Apakah harga jadi pertimbangan?

A: Kayaknya enggak deh. Kalau misalnya mahal, kita minum aja. Setidaknya kita happy udah.

2. Gak semua makanan harus dihabiskan

instagram.com/vickyyuwono

Q: Biasanya kalau makan gitu dihabiskan semua gak sih?

A: Biasanya kalau kita ke kafe, gak pernah habisin karena kan dia kasih makanannya banyak. Cuma icip-icip aja, sudah. Kalau ada makanan yang gak enak, dan kebetulan ada owner-nya, kita pasti bilang, ini gak enak deh. Tapi gak mungkin kita tulis "Yang ini gak enak." Paling kita cuma bilang, ini ada resto baru konsepnya begini, bedanya begini, cobain deh yang ini sama ini.

Q: Berarti kalau gak enak langsung bilang ke manajemennya, ya?

A: Iya, kalau kita kenal sama owner-nya, kayak kemarin aku makan di resto daerah Loop, Surabaya Barat, keluar dagingnya bau, kita langsung DM. "Ce, ini dagingnya bau lho." Tapi kita gak koar-koar ini gimana-gimana. Kita ini kan kerja ya, ibaratnya kalau aku bilang kayak gitu pasti mematikan diri kita sendiri, resto mereka pun langsung sepi kan.

Q: Tapi pernah gak sih selama ini nolak nge-review karena sudah tahu rasanya gak enak?

A: Pernah, karena gini di Surabaya ini kan kecil, omongan satu ke omongan lain pasti tahu kan? Biasanya kita tolak undangan ke 2,3,4, dan seterusnya. Misal undangan pertama opening, kami datang. Kedua, kami sudah tahu makanannya kan. Nah, kami bakal nanya, ini dalam rangka apa nih? Misalnya ada menu baru, kalau sudah hubungan baik, ya kami datang. Tapi kalau undangan-undangan berikutnya menu baru lagi, ya kami enggak (datang) sih, karena kemarin-kemarin menu baru pun biasa aja.

Q: Meski dia paid promote?

A: Kalau dia paid promote kami tetap datang. Karena gimana-gimana, duit ya, hahaha. Cuma kalau gak bayar, kami gak datang sih.

Q: Gimana cara membedakan itu endorsement dengan budget pribadi?

A: Itu malah gak aku beda-bedain sama sekali. Karena kan tujuan sebenarnya biar gak kelihatan dong mana yang endorsement, mana yang undangan, mana yang budget sendiri ya. Kadang ada orang yang malah dikasih hashtag "ini endorsement". Itu kan sebenarnya kamu dibayar, kalau orang baca, "Lho karena kamu dibayar, jadinya bias, kan?"

Nah, biasanya kalau aku, mau undangan, sendiri, atau dibayar, isi postingannya dari aku sendiri, cuma tetap ada bedanya. Mana yang aku benar-benar senang banget atau enak banget, kelihatan karena ceritanya panjang. Terus biasanya aku suggest, kamu coba deh makan yang ini.

Tapi kalau biasa-biasa aja, atau bahkan gak enak banget, aku gak bahas makanannya. Aku bahas lainnya, kayak promonya, servisnya, interiornya. Kadang ada yang nanya juga, itu kan gak enak kenapa kamu posting? Ya kan aku gak bilang enak, aku cuma share promonya.

Q: Misalnya ada salah satu kafe bayar mahal terus harus review?

A: Ketika klien datang ke kami, kami sudah kasih price list-nya. Itu sudah ada tulisan kami gak terima sugar coating. Kami gak bisa kamu suruh kayak, "Eh ini enak ya."

Jadi dulu pernah ada yang kayak bawain (produk) kompetitornya, persis plek. Dia bilang, "Ini lho lihat punyaku lebih ini bla bla bla."

Ya aku bilang, "Iya punyamu memang kebetulan lebih ini, tapi kita gak mungkin nulisnya ngebandingin sama brand lain, kan? Itu kan gak etis juga di kaminya, ntar kita yang kena malahan." Ada juga yang minta bahannya dari mereka, jangan deh kalau kayak gitu.

Q: Jadi lebih ke honest review ya?

A: Bener, even kalau beneran kayak, contoh lah paling gampang kayak donat Indomie kemarin. Itu sebenarnya kalau jujur, itu gak enak parah, cuma kan aku gak tag brandnya. Aku gak bilang kalau itu gak enak, aku bilangnya aku gak suka. Karena bisa jadi brand lain bikinnya lebih enak, kan kita gak tahu. Makanya jangan sekali-sekali bilang gak enak deh, karena orang itu kan sensitif ya.

Jadi kayak pinter-pinter baca aja. Kadang kalau orang sudah tahu, even aku cuma stories aja ya, ada yang komen gini, "Koh itu biasa aja, ya?" Kok tahu? "Ya soalnya cuma di-tag aja ke brandnya. Padahal aku gak kepikiran sama sekali ke sana ya, cuma kebiasaan kalau aku suka, pasti ada ceritanya kayak apa. Kadang kalau biasa-biasa aja, ya cuma aku tag hehehe.

Baca Juga: Gak Melulu Enak, Ternyata Ini Derita Jadi Foodies ala Vicky Yuwono

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya