Potret pengunjung Take-Noko menyantap ulat sutra (dok. REUTERS/Kim Kyung-Hoon)
Bagi orang Jepang, mengonsumsi serangga bukanlah hal yang asing. Mereka sudah melakukannya selama era Taisho (1912–1926) dan berlanjut hingga Perang Dunia II akibat kekurangan pangan. Ada belalang, ulat sutera, tawon, dan puluhan jenis serangga lainnya yang menjadi sajian sehari-hari.
Kebiasaan tersebut rupanya berlanjut. Terutama di kalangan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Sebab, di sana daging sapi dan ikan cukup langka.
Bahkan, saat ini ada kemajuan dalam beternak jangkrik dan ulat bambu untuk makanan di Jepang. Beberapa perusahaan juga ada yang menjual kue dan makanan ringan yang terbuat dari tepung jangkrik.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menganggap serius praktik entomofagi ini dan menyatakan serangga bisa menjadi sumber protein yang baik. Apalagi dengan bertambahnya populasi manusia di dunia, perubahan iklim, serta masalah kelaparan dunia akibat cuaca dan perang diperkirakan bisa diatasi salah satunya dengan konsumsi serangga.
Gimana, kalian tertarik mencoba menu-menu serangga di kafe Take-Noko saat pergi ke Jepang nanti? Siapkan mental kalian, ya!