TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

IDI: Strategi Terintegrasi Hadapi Peningkatan Kasus Demam Berdarah

Perubahan iklim menjadi faktor krusial  

ilustrasi tenaga kesehatan (unsplash.com/@mufidpwt)

Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap penyebaran penyakit seperti demam berdarah atau DBD.

Musim penghujan biasanya cenderung meningkatkan risiko kasus demam berdarah karena meningkatnya kelembapan udara, yang menjadi kondisi ideal bagi nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit ini untuk berkembang biak.

Dalam konteks ini, kesiapsiagaan terintegrasi sangat penting dan tentu saja melibatkan koordinasi antara pemerintah, lembaga kesehatan, masyarakat, dan sektor terkait lainnya dalam menyusun strategi pencegahan, deteksi dini, dan penanganan kasus demam berdarah.

Upaya-upaya ini mencakup peningkatan pengawasan terhadap penyebaran nyamuk, edukasi masyarakat tentang cara mengurangi risiko penularan, peningkatan infrastruktur sanitasi, dan perbaikan sistem kesehatan untuk memberikan perawatan yang tepat waktu dan efektif bagi individu yang terinfeksi.

1. Waspada bulan-bulan puncak kasus demam berdarah

Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT - Ketua Umum PB IDI pada Media Briefing virtual mengenai ‘Tata Kelola Integratif Demam Berdarah Dengue’ (dok. Pribadi/Siantita Novaya)

Acara dimulai dengan pembukaan oleh Ketua Umum PB IDI, Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, yang memperkenalkan tema utama tentang penanganan demam berdarah.

Dalam sambutannya, ia menyoroti pentingnya peran media dalam menyosialisasikan informasi terkait peningkatan kasus demam berdarah, terutama dalam konteks iklim pancaroba yang dapat memengaruhi penyebaran penyakit.

"Kalau kita melihat dari tahun ke tahun, maka itu selalu mulai dari awal tahun sampai di sekitar bulan Juni-Juli. Jadi peak (puncaknya) itu nanti tentunya adalah bisa di bulan—ini sebenarnya potensi di bulan Maret-April ini adalah peak (puncak) yang mempunyai risiko. Kalau kita bicara secara epidemiologi di kasus DBD di tahun-tahun sebelumnya," ungkapnya.

2. Demam berdarah dari perspektif tata kelola yang baik dalam meningkatkan ketahanan kesehatan bangsa

Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Soroy Lardo, Sp.PD., K.PTI., FINASIM (IDN Times/Siantita Novaya)

Pembicara selanjutnya, Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Soroy Lardo, SpPD., K.PTI., FINASIM (Bidang Advokasi lembaga Pemerintah PB IDI & Spesialis Penyakit Dalam - Konsultan Penyakit Tropik Infeksi) menyoroti kompleksitas demam berdarah sebagai penyakit infeksi yang memerlukan penanganan multi sektor, terutama dalam situasi outbreak yang memerlukan pelibatan berbagai sektor.

Menurut panduan penanganan demam berdarah dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2009, perjalanan klinis penyakit ini dibagi menjadi tiga fase utama:

  • Fase demam (1–3 hari)
  • Fase kritis (3–6 hari)
  • Fase pemulihan (6–10 hari)

Penting bagi pasien untuk mendapatkan cukup cairan selama tiga hari pertama.

Jika pasien memasuki unit gawat darurat (UGD) atau puskesmas pada hari keempat dengan kondisi dehidrasi, mereka berisiko mengalami komplikasi selama fase kritis, seperti syok dan pendarahan, bahkan gangguan organ, yang merupakan titik kritis di mana risiko kematian tinggi.

Namun, jika pasien dapat ditangani dengan baik selama fase kritis, dengan trombosit dan rekosisi yang normal, maka akan memasuki fase perbaikan.

Akan tetapi, fase perbaikan ini sangat individual, dan biasanya disarankan agar pasien istirahat selama lima hari karena virus sisa masih ada, dan pasien mungkin akan merasa lemah selama tiga minggu ke depan.

Baca Juga: Perbedaan Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, Jangan Keliru!

3. Penanganan demam berdarah melibatkan berbagai aspek, termasuk pencegahan, promosi kesehatan, dan pelayanan di puskesmas dan UGD

ilustrasi tenaga kesehatan (unsplash.com/@mufidpwt)

Menurut Dr. Soroy Lardo, penting untuk mengembangkan pemahaman holistik tentang bagaimana pasien demam berdarah memasuki sistem kesehatan, mulai dari kunjungan ke puskesmas hingga ke UGD.

Tenaga medis sudah seharusnya melindungi pasien agar tidak mengalami kondisi yang berat saat berada di puskesmas, serta kemampuan prediktif untuk mengidentifikasi pasien-pasien dengan risiko tinggi agar dapat diberikan penanganan yang tepat di rumah sakit. 

Mengenai holistik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

"Holistik itu artinya, pertama, organisasi profesi menyediakan sumber daya yang baik, kemudian Kementerian Kesehatan menyediakan layanan infrastruktur yang baik dengan diagnostiknya. Pemeriksaan awal, misalnya NS1, itu tersedia pada setiap layanan primer, dan yang terakhir memang komoditas lingkungan," tambahnya.

Selain itu, masalah lingkungan, seperti tempat pembiakan nyamuk, juga perlu ditangani secara holistik karena sulit untuk diselesaikan secara terpisah.

Oleh karena itu, integrasi antara berbagai pihak diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut dengan efektif.

Verified Writer

Siantita Novaya

👍🏻

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya