Hingga artikel ini terbit, pengobatan untuk COVID-19 belum ditemukan hingga saat ini. Vaksinnya saja masih diteliti, masih dalam tahap human testing.
Jadi, jikalau ada yang mengatakan bahwa antibiotik dapat menyembuhkan COVID-19, mohon jangan dipercaya. Kenapa? Antibiotik diciptakan untuk membunuh bakteri, sedangkan COVID-19 adalah virus. Namun bila kamu diberikan antibiotik selama menjalani perawatan akibat virus corona, komunikasikan dulu dengan doktermu, bisa jadi memang karena ada bakteri yang menginfeksi bersamaan dengan virus corona, atau setelahnya.
Jika memang terinfeksi COVID-19, lebih baik kamu mengisolasi diri di rumah. Amit-amit, jika memang gejalanya memburuk, segera berobat ke rumah sakit.
Pengobatan terkini hanya berusaha untuk meringankan gejala. Meskipun pengobatan antivirus seperti yang digunakan untuk mengobati HIV terbukti efektif mengobati COVID-19, obat spesifik untuk COVID-19 masih belum dapat ditemukan.
(IDN Times/Reja Gussafyn)
"Bagaimana dengan obat malaria?"
Maksudnya klorokuin (choloroquine)? Memang, dari Presiden AS, Donald Trump, hingga pengusaha eksentrik Tesla dan SpaceX, Elon Musk, memang memuji klorokuin karena dapat menangkal virus untuk masuk ke sel manusia dan berkembang biak.
Namun, ilmuwan menenangkan dunia agar tidak berharap terlalu banyak pada klorokuin. Pasalnya, uji klinis saat ini masih belum dapat menentukan apakah klorokuin aman digunakan untuk pasien COVID-19.
Namun, hal tersebut keburu menyebabkan masyarakat dunia berlomba-lomba membeli klorokuin dalam jumlah besar. Jika masyarakat menimbun klorokuin, maka hal tersebut bisa berbahaya untuk para penderita lupus. Kamu juga perlu tahu soal efek samping chloroquine dan bahayanya bagi penderita penyakit tertentu.
Selain klorokuin, terdapat dua obat yang diklaim dapat mengobati COVID-19 saat ini:
- Remdesivir, dan
- Favipiravir.
Dikembangkan oleh Gilead Sciences, Remdesivir digunakan di Tiongkok, Italia, dan Amerika Serikat sebagai pengobatan sementara untuk COVID-19. Walaupun tidak tertera sebagai obat COVID-19, Remdesivir mematikan fungsi "polimerase RNA" pada COVID-19 sehingga virus tidak dapat bermultiplikasi.
Semenjak diberitakan pada 18 Maret, Favipiravir, obat flu dari Fujifilm Toyama Chemical, Jepang, diklaim menunjukkan hasil positif setelah diujikan pada 300 pasien di Wuhan dan Shenzhen. Dikenal juga sebagai "Avigan", Favipiravir diklaim berhasil memperpendek umur COVID-19 hingga empat hari, berbeda tujuh hari dibandingkan dengan yang tidak mengonsumsi obat tersebut.
Kedua obat tersebut memiliki kesamaan: membunuh RNA pada virus, sehingga virus tersebut tidak dapat berkembang biak. Akan tetapi, Kementerian Kesehatan Jepang menyatakan favipiravir tidak efektif pada pasien dengan gejala kronis.
Sebaik-baiknya obat, lebih baik mencegah, kan? Selalu tak bosan mengingatkan bahwa WHO ingin agar kamu dapat mencegah dirimu dari terinfeksi COVID-19. Caranya?
- Cuci tangan dengan air dan sabun, atau hand-sanitizer berbahan dasar alkohol,
- Social-distancing,
- Jangan sentuh mata, hidung, dan mulut,
- Tutup batuk dan bangkis dengan siku atau tisu, lalu lakukan langkah ke-1.
- Jika sempat berkunjung ke area rawan COVID-19, isolasi diri selama 14 hari.
Bersama, kita pasti bisa memerangi COVID-19! Semangat hidup sehat!
Pembaca bisa membantu kelengkapan perlindungan bagi para tenaga medis dengan donasi di program #KitaIDN: Bergandeng Tangan Melawan Corona di Kitabisa.com (http://kitabisa.com/kitaidnlawancorona)