ilustrasi pasien kanker menjalani kemoterapi (freepik.com/freepik))
Menurut penelitian yang dipresentasikan pada konferensi Advancing the Cardiovaskular Care of the Oncology Patient dari American College of Cardiology tahun 2019, pasien kanker yang mengalami takikardia dalam waktu satu tahun setelah diagnosis kanker memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi hingga 10 tahun setelah diagnosis takikardia.
Takikardia sinus terjadi ketika jantung berdetak lebih cepat dari biasanya saat istirahat dan dapat menyebabkan jantung berdebar dan rasa tidak nyaman.
Selain pengobatan kanker, takikardia bisa juga terjadi akibat kondisi lain seperti pembekuan darah yang menyebabkan serangan jantung atau stroke, gagal jantung, pingsan, atau kematian mendadak.
Dalam studi ini, para peneliti mendefinisikan takikardia sebagai detak jantung lebih dari 100 bpm yang didiagnosis melalui elektrokardiogram.
“Takikardia adalah proses sekunder dari penyakit yang mendasari dan mencerminkan stres dan penyakit multi sistem organ yang signifikan pada pasien kanker,” kata Mohamad Hemu, MD dari Rush University Medical Center (RUMC) dan salah satu penulis penelitian.
"Langkah awal yang paling penting adalah mencari tahu penyebab takikardia. Penyebab yang bisa disembuhkan seperti dehidrasi dan infeksi harus disingkirkan. Selain itu, proses kardiopulmoner seperti emboli paru dan aritmia lainnya harus dipertimbangkan. Jika hal ini dan semua penyebab takikardia lainnya disingkirkan, kemungkinan besar takikardia sinus merupakan penanda prognosis yang lebih buruk pada pasien ini," kata Mohamad, dikutip dari laman American College of Cardiology Foundation.
Para peneliti menganalisis 622 pasien kanker, termasuk kanker paru-paru, leukemia, limfoma, atau multiple myeloma, dari RUMC dari tahun 2008 hingga 2016.
Pasien tersebut 60,5 persen adalah perempuan, 76,4 persen berkulit putih, dan berusia rata-rata 70 tahun; 69,4 persen dari kelompok tersebut diklasifikasikan mengidap kanker stadium 4 dan 43 persen menderita kanker paru-paru.
Penelitian ini melibatkan 50 pasien dengan takikardia dan 572 pasien kontrol tanpa takikardia.
Pasien yang termasuk dalam penelitian ini mengalami takikardia pada lebih dari tiga kunjungan klinik berbeda dalam satu tahun setelah diagnosis, tidak termasuk riwayat emboli paru, disfungsi tiroid, fraksi ejeksi kurang dari 50 persen, fibrilasi atrium, dan detak jantung lebih dari 180 bpm.
Para peneliti menilai kematian pasien dengan menyesuaikan usia dan karakteristik lain yang berbeda secara signifikan antara detak jantung lebih dari 100 bpm dan kurang dari 100 bpm, karakteristik termasuk ras, albumin, hemoglobin, beta blocker, penyakit ginjal, penggunaan pengencer darah, dan jenis kanker.
Mereka juga memeriksa angka kematian yang disesuaikan dengan usia dan karakteristik klinis lain yang relevan, seperti ras, penyakit arteri koroner, stroke, diabetes, merokok, dan radiasi.
Takikardia merupakan prediktor signifikan terhadap kematian secara keseluruhan pada kedua model. Dari pasien yang mengalami takikardia, 62 persen meninggal dalam waktu 10 tahun setelah diagnosis dibandingkan dengan 22,9 persen pada kelompok kontrol.
Penelitian ini menunjukkan bahwa takikardia adalah prognostikator yang kuat, apa pun jenis kankernya. Para peneliti menekankan pentingnya mengelola kanker dan kondisi jantung secara bersamaan untuk memastikan pasien menerima pengobatan seefektif mungkin. Namun, masih perlu lebih banyak penelitian untuk menentukan apakah penanganan takikardia pada pasien kanker akan berdampak pada kelangsungan hidup.