Dalam demonstrasi yang terjadi di Indonesia beberapa hari ke belakang, kita diperlihatkan penggunaan gas air mata oleh pihak kepolisian kepada peserta demonstrasi yang ada di lokasi. Tujuan utama gas air mata sebenarnya untuk memukul mundur massa apabila terjadi kericuhan yang sulit untuk dikontrol. Namun, tentunya definisi “memukul mundur” itu tidak sederhana karena gas air mata menghasilkan efek yang cukup berbahaya bagi peserta demonstrasi.
Dilansir US Centers for Disease Control and Prevention, gas air mata menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang mengalami kontak langsung dalam hitungan detik. Biasanya, mata, hidung, dan kulit jadi bagian yang paling rentan mengalami efek ini. Sensasi yang dirasakan seseorang pun berbeda-beda, tergantung mana yang terdampak dan berapa lama bagian itu terekspos gas air mata.
Kalau mata yang terkena, efek paling umum adalah air mata terus keluar, sensasi terbakar, mata merah, sampai penglihatan jadi kabur. Sementara itu, efek pada hidung tak jauh dari hidung merah, sensasi terbakar, keringat berlebih, batuk-batuk, rasa sesak, dan sulit bernapas. Untuk kulit, efek yang sering dirasakan adalah sensasi terbakar serta ruam-ruam.
Beberapa efek yang disebutkan itu sebenarnya termasuk jangka pendek. Rata-rata massa demonstrasi yang terpapar gas air mata mengalami efek tersebut selama 15—30 menit saja, tergantung bagaimana cara penanganan pascakontak dengan gas air mata. Akan tetapi, bagaimana dengan efek jangka panjang? Apakah terpapar gas air mata ketika aksi demonstrasi itu menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang bagi seseorang? Yuk, simak faktanya!