Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Bayi baru lahir ditempatkan di boks khusus di rumah sakit.
ilustrasi bayi baru lahir (unsplash.com/Visualss)

Intinya sih...

  • Hampir 80 persen kasus sepsis bayi di Asia Tenggara disebabkan bakteri kebal antibiotik.

  • WHO dinilai perlu memperbarui pedoman antibiotik karena data global masih bias negara maju.

  • Peneliti mendorong pengembangan antibiotik baru, kontrol infeksi ketat, dan pemberian ASI untuk perlindungan bayi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pengobatan yang biasanya menyelamatkan nyawa bayi baru lahir dengan sepsis kini makin tidak efektif di Asia Tenggara. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet mengungkap, bakteri kebal antibiotik menjadi penyebab hampir 80 persen kasus sepsis pada bayi di lima negara, yaitu Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Sri Lanka.

Studi ini menggunakan data hasil kultur darah dari bayi baru lahir selama dua tahun (1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2020) yang dikumpulkan dari catatan laboratorium. Selain itu, tim peneliti juga mencatat ketersediaan serta penerapan sumber daya pencegahan dan pengendalian infeksi, serta pola penggunaan antibiotik. Semua data dari berbagai lokasi dan jenis kuman kemudian digabungkan untuk dianalisis, dengan penyesuaian agar hasilnya tetap akurat meski ada perbedaan antar tempat.

Sepsis adalah kondisi ketika sistem imun bereaksi berlebihan terhadap infeksi sehingga memicu kegagalan organ dan kematian. Dari lebih dari 15.000 sampel darah bayi yang diteliti, mayoritas infeksi disebabkan oleh bakteri yang kemungkinan besar resistan/kebal terhadap pengobatan standar.

Akibat masalah tersebut, dunia bisa kehabisan pilihan antibiotik yang efektif untuk bayi. Kandidat obat baru sangat sedikit, bahkan bukan tidak mungkin butuh sekitar 10 tahun untuk satu antibiotik yang disetujui untuk bayi. Kondisi ini menuntut investasi besar dalam pengembangan antibiotik baru.

Detail studi, kebutuhan mendesak akan pedoman baru dan pencegahan

ilustrasi obat-obatan (IDN Times/Aditya Pratama)

Studi ini menutup celah penting dalam pemahaman tentang beban antimicrobial resistance (AMR) pada sepsis neonatal di wilayah dengan prevalensi tinggi. Dengan meneliti penyebab sepsis neonatal dan tingkat ketidakpekaan terhadap antibiotik yang umum digunakan di 10 rumah sakit di lima negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, penelitian ini menemukan bahwa bakteri gram-negatif mendominasi sebagai penyebab sepsis neonatal, dengan tingkat resistansi yang mengkhawatirkan terhadap antibiotik empiris yang direkomendasikan.

Hasil ini sejalan dengan penelitian observasional di Asia dan Afrika, yang juga menunjukkan bahwa bakteri gram-negatif merupakan penyebab utama sepsis neonatal di fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Klebsiella spp., Acinetobacter spp., dan E. coli paling sering ditemukan, sementara kontribusi Enterobacter spp. lebih tinggi dibanding laporan dari wilayah lain. Tingginya kasus Klebsiella dan Acinetobacter—yang sering terkait dengan infeksi rumah sakit—menunjukkan adanya kemungkinan penularan bakteri sejak dini di fasilitas kesehatan. Sebaliknya, bakteri gram-positif hanya menyumbang sekitar 13,2 persen kasus, dengan Staphylococcus aureus sebagai patogen utama, meski proporsinya lebih rendah dibanding studi multinegara sebelumnya.

Patogen utama penyebab sepsis menunjukkan tingkat resistansi yang tinggi terhadap antibiotik lini pertama yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti kombinasi benzilpenisilin/ampisilin dengan gentamisin, maupun sefalosporin generasi ketiga. Tingkat kepekaan yang rendah ini menegaskan bahwa terapi empiris standar WHO tidak lagi memadai di rumah sakit perkotaan Asia Selatan dan Tenggara. Oleh karena itu, pedoman terapi empiris baru yang disesuaikan dengan tingginya beban infeksi resistan obat sangat mendesak untuk melindungi bayi, mendukung program pengendalian antibiotik lokal, dan menyelaraskan praktik global.

Sayangnya, bahkan antibiotik alternatif seperti amikasin dan karbapenem juga menunjukkan efektivitas yang rendah terhadap Enterobacterales maupun bakteri gram-negatif non-fermenter. Hal ini menyoroti kebutuhan mendesak akan akses yang lebih baik terhadap antibiotik baru yang mampu mengatasi infeksi multidrug-resistant (MDR) pada bayi di fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas.

Yang menarik, penelitian ini juga menemukan 8 persen kasus sepsis neonatal yang disebabkan oleh infeksi jamur invasif, terutama Candida parapsilosis dan Candida albicans. Temuan ini menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas diagnostik mikologi dan sistem pemantauan infeksi jamur di negara berpendapatan rendah-menengah. Walau resistansi antijamur di Asia Selatan dan Tenggara masih rendah, tetapi munculnya kasus Candida auris yang multidrug-resistant di wilayah lain menjadi peringatan serius.

Namun, studi ini memiliki keterbatasan. Data diambil terutama dari rumah sakit rujukan besar di perkotaan, sehingga mungkin tidak mewakili kondisi nasional. Selain itu, data kultur darah dikumpulkan secara retrospektif, sehingga tidak bisa dianalisis lebih jauh kaitannya dengan faktor risiko klinis maupun luaran pasien. Kapasitas laboratorium yang terbatas di beberapa lokasi juga memengaruhi kelengkapan data.

Meski begitu, temuan ini memberikan bukti kuat bahwa sepsis neonatal di Asia Selatan dan Tenggara didominasi oleh bakteri gram-negatif yang resistan terhadap banyak obat. Hal ini memperkuat seruan untuk memperbarui pedoman terapi empiris yang sesuai konteks, melakukan uji klinis untuk mengevaluasi regimen alternatif, serta mengembangkan antibiotik baru.

Selain itu, penelitian lebih lanjut tentang bagaimana bakteri resistan menyebar di rumah sakit sangat penting, agar intervensi yang lebih tepat sasaran dapat dikembangkan untuk menekan angka infeksi pada bayi baru lahir.

Selama ini, rekomendasi antibiotik untuk sepsis pada bayi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) didasarkan pada data negara-negara berpenghasilan tinggi. Padahal, 85 persen kematian bayi akibat sepsis terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Para peneliti menegaskan, pedoman global harus segera diperbarui agar sesuai dengan pola bakteri lokal dan tingkat resistansi yang berbeda-beda.

Temuan studi ini dianggap mengkhawatirkan, karena infeksi bakteri resistan yang dulu lebih sering muncul pada bayi yang lebih besar, kini justru terjadi dalam beberapa hari pertama kehidupan bayi.

Secara global, setengah juta bayi meninggal karena sepsis setiap tahun, sepertiganya disebabkan bakteri resistan antibiotik. Risiko penyebaran juga makin tinggi karena globalisasi dan mobilitas lintas negara.

Untuk menekan ancaman ini, tenaga medis dan orang tua harus menjaga kebersihan secara ketat, menerapkan kontrol infeksi di rumah sakit, serta mendorong pemberian ASI karena terbukti membantu memperkuat daya tahan tubuh bayi dan mengurangi risiko paparan bakteri berbahaya.

Referensi

Benjamin F R Dickson et al., “Pathogen Distribution and Antimicrobial Resistance Among Neonatal Bloodstream Infections in Southeast Asia: Results From NeoSEAP, a Multicentre Retrospective Study,” The Lancet Regional Health - Western Pacific 62 (September 1, 2025): 101617, https://doi.org/10.1016/j.lanwpc.2025.101617.

"Drug-resistant sepsis threatens newborns across Southeast Asia, study warns." SCMP. Diakses September 2025.

Editorial Team