Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
en.trend.az

Percepatan penanggulangan pandemi COVID-19 di Indonesia, baik dari segi penyediaan vaksin, obat-obatan, multivitamin, dan alat kesehatan diharapkan terjadi setelah bergabungnya BUMN farmasi dalam naungan holding. Untuk saat ini, dua anggota BUMN Holding Farmasi, yakni PT Kimia Farma Tbk. dan PT Indofarma Tbk. sudah mampu memproduksi obat untuk penanganan COVID-19.

PT Kimia Farma Tbk. memproduksi favipiravir, sementara PT Indofarma Tbk. siap memasarkan remdesivir dengan nama dagang Desrem™. Selain itu, PT Kimia Farma Tbk. dan anak usahanya, PT Phapros Tbk. berhasil memproduksi beberapa obat lain untuk penanganan COVID-19, yakni chloroquine, hydroxychloroquine, azithromycin, dexamethasone, dan methylprednisolon.

Ini daftar obat untuk terapi COVID-19 yang diproduksi BUMN dan kegunaannya. Apa saja kegunaan, efek samping, dan bagaimana cara penggunaan obat-obatan tersebut? Simak selengkapnya di bawah ini!

1. Favipiravir

nypost.com

Favipiravir adalah obat antivirus yang dijual dengan merek Avigan. Menurut penuturan dari Prof. Dr. Keri Lestari, M.Si., Apt, Avigan adalah antivirus yang biasa digunakan untuk pengobatan influenza.

"Kenapa digunakan untuk COVID-19? Karena mempunyai karakteristik virus yang hampir mirip, yaitu virusnya mempunyai genome RNA," tutur Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjajaran ini.

Menurutnya, pencarian obat baru memerlukan waktu yang lama, sehingga pilihan yang paling realistis saat ini adalah menggunakan obat-obatan yang sudah tersedia. Karena, profil pengobatannya sudah diketahui, jika terjadi efek samping, kita tahu bagaimana cara mengatasinya, lanjut Prof. Keri.

Di Jepang, favipiravir diberikan secara oral dengan dosis 1.800 mg di hari pertama dan 800 mg dua kali sehari pada hari-hari berikutnya. Durasi pemberian obat adalah 11 hari. Hasilnya, tingkat perbaikan klinis pada 14 hari berturut-turut adalah 87,8 persen untuk orang dengan gejala ringan, 84,5 persen untuk gejala sedang, dan 60,3 persen untuk gejala berat. Ini mengacu pada studi berjudul "Preliminary Report of Favipiravir Observational Study in Japan Released" seperti yang dimuat di laman Japanese Association for Infectious Diseases.

Dalam studi yang sama, ditemukan bahwa 20 persen pasien yang memakai favipiravir mendapatkan reaksi merugikan. Di antaranya adalah hiperurisemia (produksi asam urat yang berlebihan atau pengeluaran asam urat dari ginjal yang berkurang, atau gabungan keduanya) dan diare pada 5 persen pasien dan penurunan jumlah neutrofil (jenis sel darah putih) dan transaminitis (peningkatan enzim hati) pada 2 persen pasien. Akan tetapi, secara keseluruhan favipiravir memiliki profil keamanan yang baik.

2. Remdesivir

Editorial Team

Tonton lebih seru di