Penyuntikan vaksinasi COVID-19 sebagai upaya percepatan program vaksinasi. (ANTARA FOTO/Gusti Tanati)
Dilansir Scientific American, Katalin dan Drew mulai mempelajari teknologi mRNA sintetik in vitro pada tahun 1990-an, ketika mereka bekerja sama di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat (AS).
Makalah yang mereka tulis pada 2005 menjelaskan bagaimana mereka berhasil mengirimkan mRNA yang dimodifikasi ke dalam tubuh dan memicu respons imun—jenis yang melatih sistem kekebalan untuk menghadapi infeksi virus di masa depan.
Selama bertahun-tahun, penelitian mereka terhadap vaksin mRNA memecahkan beberapa masalah utama yang dihadapi teknik ini, seperti respons peradangan tubuh yang melibatkan produksi sitokin berbahaya.
Selama pandemik, teknologi mRNA ini menghasilkan produksi vaksin yang sangat efektif melawan SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, dan khususnya vaksin yang dapat beradaptasi untuk peluncuran skala besar.
Banyak vaksin telah dibuat dengan virus utuh yang dilemahkan atau dinonaktifkan. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, banyak peneliti telah menyelidiki bagian virus yang lebih kecil, seperti materi genetik virus, yaitu DNA atau RNA.
Ketika Katalin dan Drew menyuntikkan mRNA asing in vitro ke dalam sel manusia, mereka menemukan bahwa hal itu menciptakan reaksi kekebalan yang kuat yang meningkatkan antibodi pelindung. Namun, peradangan selanjutnya, serta enzim dalam darah dan sel manusia, akan menurunkan mRNA. Terlepas dari hambatan ilmiah, skeptisisme, dan kesulitan pendanaan, Katalin dan Drew terus mencari solusi.
“Ini merupakan rintangan teknis tanpa henti selama 25 tahun,” kata Drew. “Kami tidak bisa mendapatkan dana, Kati [Katalin] terus diturunkan pangkatnya dan dipersulit. Sangat sulit untuk melakukan penelitian ini, tetapi kami telah melihat sejak awal potensi dan betapa pentingnya RNA. Dan itu membuat kami terus maju. Kami tidak pernah menyerah,” kata Drew kepada Scientific American.
Keduanya menemukan cara untuk memodifikasi mRNA agar mengurangi peradangan, yaitu mengganti uridine, salah satu molekul penyusunnya, dengan molekul serupa yang disebut pseudouridine. Mereka juga mengembangkan sistem pengiriman yang lebih efisien yang menggunakan nanopartikel lipid untuk melindungi mRNA dan membantunya memasuki sel untuk produksi protein.
Dimulai pada awal tahun 2000-an, Katalin dan Drew melakukan beberapa uji coba pada hewan dengan vaksin mRNA untuk berbagai patogen berbeda seperti Zika, influenza, dan HIV.
“Pada setiap model hewan yang kami teliti, HIV adalah satu-satunya model yang tidak bekerja dengan baik,” kata Drew. “Namun selain itu hampir semuanya memberi kami perlindungan 100 persen.”
Penelitian ini membuka jalan baru bagi kemungkinan terapi dan pengembangan vaksin—hal yang terbukti penting selama pandemik COVID-19.