ilustrasi ketindihan (futurity.org)
Dalam Health Talk pada Kamis (30/12/2021), dokter spesialis kesehatan jiwa di RS Jiwa Prof. DR. Soerojo Magelang, dr. Santi Yuliani, SpKJ, M.Sc., turut mengomentari fenomena ketindihan secara umum. Dalam bidang medis, fenomena ketindihan dapat disebut sebagai sleep paralysis.
Dokter Santi menjelaskan bahwa saat tidur, tubuh memasuki beberapa fase. Berfokus pada fase twilight, gelombang otak mengalami perpindahan dari teta ke delta. Saat masuk ke tidur dalam (deep sleep), otak memproduksi dua neurotransmiter, yaitu glisin dan asam gamma-aminobutirat (GABA)
“Glisin dan GABA berfungsi untuk melumpuhkan otot tubuh agar masuk ke fase relaks. Untuk tidur, tubuh perlu kondisi senyaman mungkin agar tubuh bisa recharge,” kata dr. Santi.
ilustrasi ketindihan atau sleep paralysis (psych2go.net)
Dokter Santi melansir bahwa rilisnya glisin dan GABA dilakukan secara bertahap dan hilangnya glisis dan GABA juga bertahap. Namun, saat ketindihan terjadi, perpindahan tersebut terjadi secara drastis dari saat sedang tidur (hipnagogik), atau sedang ingin bangun tidur (hipnopompik).
Karena glisin dan GABA aktif sementara mata masih terjaga, otot tubuh terjebak berada dalam keadaan lumpuh. Jadi, pada dasarnya, sleep paralysis disebabkan oleh ketidakstabilan pada glisin dan GABA.
"Namun, manusia ingin jawaban dan ilmu medis dan psikiatri pada zamannya tak bisa menjelaskan fenomena glisin dan GABA. Karena penjelasan mistis lebih mudah beredar dan diterima, maka fenomena ini disebut sebagai ketindihan," ujar dr. Santi.