Sebuah laporan dalam jurnal “Gastroenterology” tahun 2006 mendefinisikan globus pharyngeus sebagai gejala klinis yang jelas dan biasanya berlangsung lama, sulit diobati, dan cenderung kambuh.
Gejala ini dapat membaik setelah makan dan umumnya tidak dibarengi dengan kondisi disfagia (sulit menelan) atau odinofagia (nyeri saat menelan).
Diperkirakan globus pharyngeus menyumbang 4 persen rujukan berkaitan dengan THT (telinga, hidung, tenggorokan). Dilaporkan kondisi ini menjangkiti sampai 46 persen dari individu yang tampak sehat dan kebanyakan berusia paruh baya.
Seorang dokter bernama John Purcell pada tahun 1707 menggambarkan kondisi ini secara akurat, yaitu kondisi yang disebabkan oleh tekanan pada tulang rawan tiroid akibat kontraksi otot di leher.
Dulunya, kondisi ini digambarkan sebagai globus hystericus karena sering dikaitkan dengan faktor psikogenik atau menopause. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1968, Malcomson menciptakan istilah globus pharyngeus setelah dirinya menemukan kebanyakan pasien dengan sensasi globus tidak memiliki kepribadian histeris.