Hancurkan Batu Ginjal Tanpa Radiasi, Lebih Aman dengan Metode Baru Ini

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2013, prevalensi penderita batu ginjal di Indonesia sebesar 0,6 persen. Kondisi tersebut umum terjadi pada kelompok usia 55-64 tahun, dengan prevalensi sebesar 1,3 persen dari total populasi. Jika dibagi berdasarkan jenis kelamin, kondisi ini dialami oleh 0,8 persen laki-laki dan 0,4 persen perempuan.
Salah satu jenis batu ginjal adalah batu tanduk rusa ginjal atau staghorn stone. Biasanya kondisi ini diatasi dengan teknik percutaneous nephrolithonomy (PCNL). Teknik PCNL yang dilakukan oleh dr. Ponco Birowo, Sp.U(K), Ph.D, berbeda, karena ia memakai USG, bukan sinar x. Apa keunggulannya?
Lewat pertemuan dengan media yang digelar secara virtual pada hari Rabu (29/7) lalu, yuk simak penjelasan dari dokter spesialis urologi yang praktik di RSU Bunda Jakarta ini!
1. Apa itu batu tanduk rusa ginjal?
Menurut dr. Ponco, batu tanduk rusa ginjal adalah batu ginjal yang bercabang-cabang. Ini karena letaknya di dua cabang atau lebih pada saluran ginjal, sehingga bentuknya menyerupai tanduk rusa.
Dilansir dari Radiopaedia, situs web pendidikan radiologi internasional, batu ini terbentuk dari struvite atau magnesium amonium fosfat. Sebagian besar kasus batu tanduk rusa menimbulkan gejala seperti demam, nyeri panggul, hematuri, hingga septikemia.
"Pasien staghorn stone sering kali tidak merasakan gejala atau keluhan. Oleh sebab itu, batu ginjal bisa menjadi besar. Jika batunya masih kecil, biasanya langsung diterapi sebelum menjadi besar," terang anggota Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) ini.
Beberapa gejala yang perlu diwaspadai antara lain: nyeri pinggang hilang timbul tanpa dipengaruhi gerakan, kencing warna merah atau kencing darah, kencing keruh berpasir atau keluar batu kecil, serta demam dan nyeri saat berkemih akibat infeksi.