Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi denyut jantung (pixabay.com/PublicDomainPictures)
ilustrasi denyut jantung (pixabay.com/PublicDomainPictures)

Pernahkah kamu merasakan jantung berdebar kencang dan tidak beraturan? Jangan dianggap sepele, mungkin ini pertanda atrial fibrilasi atau fibrilasi atrium. Memiliki nama lain fibrilasi atrium, ketidakteraturan irama jantung ini bisa meningkatkan risiko stroke dan gagal jantung!

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, Siloam Hospitals melalui program Siloam Health Corner mengadakan talk show bertajuk "Atrial Fibrilasi: Kala Berdebar Bukan Karena Si Dia" pada Selasa (12/4/2022).

Acara daring ini menghadirkan tim dokter spesialis jantung dari Siloam Hospitals TB Simatupang, yaitu Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K), FIHA, FAsCC, FEHRA; dr. Budi Ario Tejo, SpJP(K), FIHA; dr. Arwin Saleh Mangkuanom, SpJP(K), FIHA; dan dr. Dony Yugo Hermanto, SpJP(K), FIHA. Simak pemaparannya, yuk!

1. Apa itu atrial fibrilasi?

Menurut keterangan tertulis dari Siloam Hospitals, atrial fibrilasi adalah gangguan irama jantung yang ditandai dengan irama jantung yang tidak teratur. Spesifiknya, karena ada gangguan irama listrik yang berasal dari ruang jantung bagian atas.

Dokter Budi menyitir satu penelitian yang melibatkan ribuan responden selama dua puluh tahun. Ternyata, dalam periode waktu tersebut, sekitar 1–2 persen responden mengembangkan atrial fibrilasi. Padahal, mereka adalah individu yang sehat.

"Jika memiliki faktor risiko lain, seperti kelainan jantung, gagal jantung, atau penyakit jantung koroner, risiko itu akan bertambah 3–5 kali lipat," jelasnya.

Di Indonesia, risikonya kurang lebih sama. Menurut dr. Budi, dari seluruh populasi Jakarta, sekitar 0,2 persen menderita atrial fibrilasi.

2. Banyak dialami oleh kelompok usia lanjut

ilustrasi orang lanjut usia (pexels.com/Tristan Le)

Atrial fibrilasi banyak dialami oleh orang lanjut usia (lansia). Berdasarkan studi berjudul "Prevalence, Age Distribution, and Gender of Patients With Atrial Fibrillation" yang diterbitkan dalam jurnal Archives of Internal Medicine, prevalensi atrial fibrilasi pada individu berusia 65–85 tahun adalah 70 persen.

Angka tersebut sedikit berbeda dengan di Indonesia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prof. Yoga dan rekan-rekannya yang dipublikasikan dalam jurnal OPTIMA tahun 2021, atrial fibrilasi di Tanah Air justru banyak diidap oleh kelompok usia produktif dengan rentang usia 41–60 tahun, yaitu sebanyak 404 orang.

Prevalensi atrial fibrilasi pada kalangan usia 61–80 tahun adalah 364 orang, 96 orang pada usia 40 tahun ke bawah, dan 32 orang pada usia 80 tahun ke atas. Penelitian ini melibatkan 1.300–an pasien.

"Bayangkan, kalau pada usia ini mengalami stroke (berarti) tulang punggung keluarganya menjadi cacat. Oleh karena itu, tugas kita adalah bersama-sama mencegah ini terjadi," tegas Prof. Yoga.

3. Hubungan antara gaya hidup tidak sehat dengan atrial fibrilasi sangat besar

Karena sifatnya multifaktorial, tidak ada faktor tunggal yang mencetuskan timbulnya atrial fibrilasi. Misalnya, makin tua usia akan makin rentan. Selain itu, kondisi ini cenderung terjadi pada laki-laki daripada perempuan.

Hubungan antara gaya hidup tidak sehat dengan atrial fibrilasi sangat besar. Gaya hidup tidak sehat yang dimaksud ialah merokok, gula darah dan tekanan darah yang tidak terkontrol, stres tidak dikelola dengan baik, istirahat tidak cukup, serta pola makan tinggi lemak dan karbohidrat.

"Semua itu bisa menyebabkan remodeling atau perubahan di struktur jantung. Dengan adanya remodeling, risiko terjadinya atrial fibrilasi makin besar. Jadi, kalau kita mau mencegah terjadinya atrial fibrilasi, kita harus mengendalikan gaya hidup kita," ujar dr. Budi.

4. Risiko stroke dan kematian cukup besar

ilustrasi pasien stroke (c-care.ca)

Mengutip Medscape, risiko stroke akibat atrial fibrilasi diperkirakan sekitar 1,5 persen untuk kalangan usia 50–59 tahun dan hampir 30 persen untuk mereka yang berusia 80–89 tahun. Selain itu bisa meningkatkan risiko kematian 1,5–3,5 kali lipat.

Sementara itu, menurut Prof. Yoga, dari 10 orang yang memiliki atrial fibrilasi, 4 orang di antaranya akan mengalami stroke. Untuk mengantisipasinya, Prof. Yoga memperkenalkan istilah "MENARI", yang merupakan akronim dari "meraba nadi sendiri".

Denyut nadi yang normal akan terdengar seperti suara metronom (alat untuk menyamakan tempo dalam musik). Namun, jika denyutnya ireguler (kadang hilang, kadang agak cepat), mungkin itu pertanda atrial fibrilasi.

"Kalau kita menyadari itu saja, kemudian melakukan pengobatan, kita bisa terhindar dari keadaan yang tidak kita inginkan," ucapnya.

5. Denyut nadi juga bisa dipantau dengan smartwatch yang beredar di pasaran

ilustrasi smartwatch (pexels.com/Jens Mahnke)

Alat-alat yang beredar di pasaran bisa mendeteksi gangguan irama jantung atau aritmia. Salah satunya adalah pulse oximeter yang biasanya digunakan untuk mengukur saturasi oksigen.

Untuk mengukur denyut nadi, taruh alat tersebut di jari. Menurut dr. Dony, denyut nadi normal adalah 50–100 kali per menit. Kalau lebih dari 100 mungkin pertanda takikardia dan kurang dari 50 artinya bradikardia.

"Dari range nadi kita, lebih dari 100 dan di bawah 50 kita harus waspada. Jangan-jangan ada gangguan irama jantung," tukasnya.

Surprisingly, atrial fibrilasi justru range nadinya normal, antara 50–100. Denyut nadi yang tidak teratur adalah pertanda atrial fibrilasi. Jika dilihat di pulse oximeter, angkanya akan melompat-lompat. Misalnya, dari 70 ke 90 lalu turun ke 60 beats per minute (bpm).

Selain menggunakan pulse oximeter, kita juga bisa menggunakan smartwatch yang mendeteksi denyut nadi dengan menembakkan semacam sinar. Ada juga yang lebih akurat dan disertai fitur EKG untuk menilai aktivitas listrik dalam jantung.

"Tapi, namanya alat itu bisa salah, bisa benar. Kalau kita nggak yakin, apalagi dideteksi ada kelainan, lebih baik cek ke dokter untuk validasi. Alat hanya sebagai tools untuk membantu, bukan sebagai diagnosis, dan device tidak bisa menggantikan dokter," pungkasnya.

Editorial Team