Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Dokter Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (tengah).
Dokter Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (tengah) (IDN Times/Misrohatun)

Intinya sih...

  • Kanker serviks menjadi penyebab kematian tertinggi pada perempuan di Indonesia.

  • Perempuan masih berisiko mengalami keterlambatan diagnosis, dengan kasus baru diperkirakan mencapai 36 ribu.

  • Pemerintah menargetkan 69 juta perempuan menjalani skrining kanker serviks pada periode 2023–2030.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kanker leher rahim atau kanker serviks menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi pada perempuan di Indonesia. Meski begitu, upaya pencegahannya masih menghadapi tantangan besar. Pemerintah menargetkan 69 juta perempuan menjalani skrining kanker serviks pada periode 2023–2030, tetapi sampai sekarang baru sekitar 27 persen yang berhasil terjangkau.

Rendahnya angka skrining ini menunjukkan banyak perempuan masih berisiko mengalami keterlambatan diagnosis, padahal deteksi dini dapat menyelamatkan nyawa dan menekan angka kematian secara signifikan.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, menyebut bahwa kasus baru kanker serviks diperkirakan mencapai 36 ribu. Namun, berdasarkan data BPJS dan Rumah Sakit Kanker Dharmais, kasus yang tercatat baru sekitar 8 ribu.

"Perbedaan yang besar ini menunjukkan banyak kasus yang tidak terdeteksi. Dari estimasi tersebut, kematian akibat kanker serviks mencapai sekitar 20 ribu. Wajar jika kasus yang terdeteksi hanya sekitar 8 ribu karena sebagian pasien mungkin sudah meninggal sebelum terdiagnosis," ujar dr. Nadia di Jakarta, pada Kamis (04/12/2025).

Angkanya bisa melonjak ke 80 ribu kasus

Jika melihat urutan kejadian kanker pada perempuan, posisi tertinggi ditempati kanker payudara, disusul kanker serviks di peringkat kedua, kemudian kanker ovarium, disusul kanker usus dan kanker paru.

Permasalahan kanker serviks perlu segera diatasi karena jika tidak dilakukan upaya yang masif, jumlah kasus diprediksi akan terus meningkat. Dari estimasi sekitar 36 ribu kasus saat ini, angkanya bisa melonjak hingga sekitar 80 ribu pada tahun 2050. Kondisi ini tentu menjadi pekerjaan besar bagi sistem kesehatan.

Di sisi lain, kanker juga menjadi salah satu beban pembiayaan kesehatan terbesar selain penyakit jantung, stroke, dan ginjal, yang mana kanker serviks termasuk yang menyumbang biaya signifikan karena banyak ditemukan pada stadium lanjut. Oleh sebab itu, sejak 2023 pemerintah telah menetapkan upaya dan Rencana Aksi Nasional untuk menekan angka kejadian dan meningkatkan deteksi dini kanker serviks.

"Momen menjelang hari ibu ini adalah momen yang pas bagi kita bicara tentang kanker serviks. Kami di Kemenkes sesuai dengan komitmen Menteri Kesehatan mengeliminasi kanker serviks pada tahun 2030 dan membuat perempuan Indonesia menjadi sehat. Seiring dengan komitmen ini, kami melakukan penguatan terhadap sarana dan prasarana, integrasi dengan berbagai layanan serta akses berbasis komunitas," dr. Nadia mengatakan.

Perilisan white paper

ilustrasi kanker serviks (IDN Times/Novaya Siantita)

Sebagai bagian dari upaya memperkuat dialog multisektor, Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (IEKI) atau dikenal juga sebagai Indonesian Health Economist Association (InaHEA) bersama Asia-Pacific Women’s Cancer Coalition (APAC WCC) merilis white paper bertajuk “From Pilot to National Scale: Strengthening Cervical Cancer Screening in Indonesia”.

White paper ini merangkum hasil diskusi lintas sektor serta rekomendasi kebijakan untuk memperkuat sistem skrining kanker serviks nasional.

"Upaya eliminasi kanker serviks membutuhkan pendekatan sistemik dan terukur. White paper ini memberikan rekomendasi konkret untuk mempercepat implementasi skrining berbasis HPV DNA (human papillomavirus deoxyribonucleic acid) secara nasional," kata dr. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum IEKI/InaHEA dalam kesempatan yang sama.

Tantangan di lapangan

Human papillomavirus (HPV). (flickr.com/NIAID)

Ada beragam tantangan yang menghambat perluasan skrining HPV DNA di Indonesia, mulai dari kapasitas laboratorium yang terbatas hingga kebutuhan tenaga kesehatan terampil dalam pengambilan sampel, pengelolaan data, komunikasi dengan pasien dan tindak lanjut kasus positif.

Selain itu, distribusi sampel dari daerah rural ke laboratorium pusat dan alur rujukan yang masih terfragmentasi memperlambat tindak lanjut pasien. Hambatan sosial dan budaya seperti stigma, rasa takut, dan tabu terkait pemeriksaan ginekologis juga membuat banyak perempuan enggan melakukan skrining.

Percepatan eliminasi kanker serviks pun membutuhkan pendekatan infrastruktur terpadu seperti laboratorium berkapasitas tinggi, tenaga kesehatan terlatih, logistik yang efisien, sistem rujukan dan digital yang terstandarisasi, serta penggunaan metode koleksi self-sampling agar setiap perempuan di Indonesia dapat mengakses skrining dini yang berpotensi menyelamatkan nyawa.

Pilot skrining hub-and-spoke

Model hub-and-spoke yang telah diuji coba di Surabaya–Sidoarjo pada pertengahan tahun 2025 menjadi salah satu pembelajaran yang diangkat dalam white paper. Di area perkotaan seperti Surabaya yang memiliki populasi perempuan yang besar dengan akses fasilitas diagnostik yang maju—termasuk Labkesmas Surabaya—berperan sebagai "hub" dengan pengujian kapasitas tinggi dan dapat memenuhi permintaan, memastikan waktu penyelesaian hasil yang cepat.

Sementara itu, di area semiperkotaan seperti Sidoarjo dengan populasi yang lebih rendah dan keterbatasan kapasitas diagnostik berperan sebagai "spoke", mengandalkan laboratorium yang lebih sederhana maupun di luar wilayahnya, seperti Labkesmas Mojokerto untuk pemrosesan sampel.

Pendekatan ini membuka akses skrining yang lebih merata, termasuk melalui penerapan metode koleksi self-sampling di mana perempuan dapat melakukan pengambilan sampel secara mandiri di berbagai titik layanan masyarakat yang tersedia di area perkotaan.

‎Meski begitu, menurut dr. Nadia, self-sampling memerlukan edukasi lebih lanjut. Pasalnya, saat perempuan ingin mengambil sampel, mereka masih bingung atau keliru untuk letak posisi pengambilan yang benar. Untuk bertanya pun mereka kesulitan karena tidak ada petugas di bilik.

‎"Kadang-kadang juga challenge-nya, gini lho, mereka nggak bisa bedain itu alatnya masuk ke mana karena sebenarnya ada dua lubang. Nah ternyata mereka bingung. Akhirnya karena malu, terus juga karena bingung mau tanya siapa, mungkin karena udah di bilik untuk memeriksa, akhirnya terbuka alatnya tapi kita nggak dapet sampelnya. Jadi memang tantangan untuk self-sampling, walaupun mudah, tapi tidak gampang untuk kita lakukan," dr. Nadia menjelaskan.

Tahapan tiga fase

ilustrasi kanker serviks (pexels.com/Anna Tarazevich)

Keberhasilan program ini bergantung pada komitmen kolektif seluruh pemangku kepentingan serta tindakan yang selaras di setiap tahap implementasi. Di saat yang sama, Kemenkes perlu memastikan penggunaan instrumen yang memenuhi standar internasional agar hasil tes akurat dan layanan tindak lanjut secara tepat.

Tahapan rekomendasi implementasi untuk memastikan skrining menjangkau seluruh lapisan masyarakat, di antaranya:

  • Fase 1 (2025–2026) membangun fondasi: Penyelarasan kebijakan dan anggaran untuk memperluas jaringan hub-and-spoke di provinsi prioritas, peluncuran kampanye edukasi masyarakat serta pengamanan mekanisme pengadaan dan pembiayaan jangka panjang.

  • Fase 2 (2027–2028) memperluas akses dan layanan: Alokasi anggaran untuk mendukung metode koleksi self-sampling, implementasi protokol rujukan dan quality assurance, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, serta integrasi digital dan edukasi di wilayah periurban.

  • Fase 3 (2029 ke depan) institusionalisasi dan integrasi: Finalisasi cakupan JKN untuk tes HPV DNA dan memastikan layanan hingga titik terakhir melalui keterlibatan komunitas, untuk mencapai skrining populasi secara menyeluruh.

Hasil pengujian menunjukkan respons positif

Hasil awal uji coba menunjukkan capaian yang sangat positif, di mana 99,9 persen perempuan berhasil melakukan pengambilan sampel HPV DNA secara mandiri, dengan lebih dari 96 persen sampel dikumpulkan melalui pos layanan komunitas seperti posyandu.

Sejalan dengan temuan kajian ini, upaya scale-up secara nasional perlu digerakkan bersama oleh Kemenkes, Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten, laboratorium, puskesmas, dan organisasi profesi.

Arah strategis tersebut mencakup integrasi layanan HPV DNA ke dalam pembiayaan JKN, perluasan self-sampling, penguatan jejaring laboratorium hub-and-spoke, peningkatan interoperabilitas data, serta investasi berkelanjutan dalam penguatan kapasitas dan pemeliharaan peralatan. Pendekatan terpadu ini penting untuk memastikan implementasi yang berkualitas, berkeadilan, dan berkesinambungan di semua level dalam sistem kesehatan.

White paper ini diharapkan menjadi panduan strategis bagi pemerintah, akademisi, dan mitra strategis dalam memperkuat sistem skrining nasional. Dengan mengintegrasikan model hub-and-spoke, kolaborasi multisektoral, dan pendekatan berbasis infrastruktur, program skrining kanker serviks dapat diperluas secara merata, mendekatkan layanan ke perempuan di seluruh Indonesia, dan mempercepat pencapaian target eliminasi kanker serviks nasional.

Editorial Team