ilustrasi orangtua dan anak bermain di ruang terbuka (pexels.com/Alexandr Podvalny)
Teori lainnya, yang juga berhubungan dengan kehidupan modern, berhubungan dengan fakta bahwa ada elemen geografis pada peningkatan prevalensi alergi makanan. Para peneliti mulai memperhatikan bahwa prevalensi alergi tampaknya berkaitan dengan ketersediaan sinar matahari.
Peneliti Australia, Katie Allen dan Carlos Camargo melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa kurangnya paparan sinar matahari, yang dapat menyebabkan kekurangan vitamin D, dapat meningkatkan risiko anak terkena alergi telur sebanyak tiga kali lipat dan risiko alergi kacang hingga 11 kali lipat.
Sumber teori ini adalah vitamin D dapat membantu sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh kurang rentan terhadap alergi. Kehidupan perkotaan dan waktu yang dihabiskan di dalam ruangan mengurangi paparan lingkungan alami dan sinar matahari, dan ketika anak-anak terpapar sinar matahari, orangtua sering mengikuti rekomendasi untuk menutupi kulit anak dengan tabir surya.
Ketika populasi meningkat dan menjadi lebih padat, paparan kita terhadap ruang hijau dan lingkungan alami berkurang, yang berarti sistem kekebalan kehilangan banyak kesempatan untuk menghadapi mikroba dan akses ke sinar matahari.
Meskipun para peneliti umumnya berpikir peningkatan prevalensi alergi makanan didorong oleh banyak faktor, penelitian menunjukkan bahwa peningkatan urbanisasi tampaknya menjadi prediktor kuat pada populasi tertentu. Di AS contohnya, prevalensi kekurangan vitamin D diperkirakan hampir dua kali lipat lebih dibanding satu dekade lalu.