ilustrasi penyebaran wabah (pixabay.com/fernando zhiminaicela)
Setelah menjadi wabah global, penamaan cacar monyet mendapat banyak kritikan. Pasalnya, nama “cacar monyet” disebut mengandung stigma, rasisme, dan diskriminatif terhadap komunitas tertentu. Ini terutama terhadap komunitas yang awalnya paling terdampak, yaitu kelompok orang kulit hitam, orang Afrika, pria yang berhubungan seks dengan pria, kaum trans, dan komunitas dengan gender yang beragam.
Selain itu, nama “cacar monyet” juga mengandung misinformasi terkait cara penularanya. Dari nama tersebut, banyak orang yang menganggap bahwa monyet adalah sumber utama penyebarannya. Padahal penyakit ini tidak hanya ditularkan oleh monyet, tetapi juga hewan lain seperti tupai, mencit, tikus, babi, landak, dan anjing padang rumput, yang ditemukan di wilayah Afrika tempat Mpox ditemukan.
Selain itu, cacar monyet juga bisa ditularkan antar manusia melalui kontak langsung. Ini meliputi kontak kulit ke kulit (bersentuhan atau berhubungan seks), kontak mulut ke mulut (berciuman), atau melalui partikel atau droplet pernapasan ketika bertatap muka atau berbicara. Tak hanya itu, penularan cacar monyet pada manusia juga bisa terjadi melalui pakaian, jarum suntik, atau benda-benda lain yang terkontaminasi virus penyebab cacar monyet.
Karena beberapa alasan tersebut, nama “cacar monyet” akhirnya diganti menjadi “mpox”. Menurut Dr. Ifeanyi Nsofor, advokat kesetaraan kesehatan global melalui laman NPR, nama Mpox lebih baik daripada cacar monyet. Nama ini masih mengandung istilah “cacar” dan masih menunjukkan sifat fisik penyakit tersebut.