Kardashian mengatakan bahwa studi ini adalah salah satu yang pertama menunjukkan dampak negatif fast food terhadap kesehatan lever. Meski begitu, studi ini bersifat observasi, sehingga masih belum bisa membuktikan konsumsi fast food "pasti" menyebabkan NAFLD.
Selain tak mengindahkan karakteristik geografis, para peneliti menggunakan metode pengukuran steatosis yang kurang akurat. Lalu, pengukuran asupan fast food diambil dari laporan para partisipan sehingga ada risiko kesalahan. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih dalam lagi.
"Kami masih perlu merancang, menerapkan, dan meneliti intervensi asupan sehat terhadap orang dengan kondisi metabolisme yang berisiko mengembangkan steatosis untuk mengerti apakah kondisi NAFLD bisa diobati atau diringankan," ucap Kardashian.
ilustrasi makanan bergizi seimbang (unsplash.com/Louis Hansel)
Terlepas dari kekurangannya, penelitian ini jadi alarm untuk mereka yang suka fast food. Kardashian mengatakan bahwa dalam lima dekade terakhir, konsumsi fast food meningkat pesat di berbagai lapisan masyarakat terutama di tengah pandemi COVID-19.
"Kami melihat peningkatan konsumsi fast food saat pandemik COVID-19, kemungkinan besar karena tidak banyak restoran yang buka dan naiknya kerawanan pangan. Kami khawatir angka pasien steatosis meningkat dibanding waktu survei [NHNES]," kata Kardashian.
Oleh karena itu, Kardashian berharap studi ini akan mendorong rekomendasi dan edukasi nutrisi untuk masyarakat, terutama mereka yang berisiko obesitas atau diabetes yang juga bisa menderita steatosis dari fast food.
"Saat ini, cara terbaik untuk mengatasi perlemakan hati adalah dengan memperbaiki asupan makan," tandas para peneliti USC.
Jadi, bagi yang masih suka makanan cepat saji, yuk, berhenti atau batasi konsumsinya seminimal mungkin sebelum terlambat!